Pages

Monday, April 1, 2013

Finding Nemo Dalam Sudut Pandangku



            Kamu tau film Finding Nemo, bukan? Aku melihat cerita kita didalam cerita Finding Nemo. Dengan sudut pandang yang tak biasa dari orang-orang yang sudah menonton, aku menemukan sosok aku, kamu, dan wanita itu dalam film ini. Saat aku menyadarinya, aku benci film Finding Nemo. Film itu mengingatkanku pada kekejaman cinta padamu.
            Kau tau tokoh Dory si ikan biru yang menemani  Ayah Nemo untuk mencari Nemo? Itulah Aku. Tokohku. Dan aku nobatkan kamu sebagai Ayah Nemo, bernama Marlin. Dan wanita itu, ku nobatkan sebagai satu-satunya tokoh penting yang tersisa, Nemo. Tapi dalam ceritaku, Dory-lah yang menjadi pemeran utamanya.
            Dalam sudut pandangku, Marlin ialah sosok ikan jahat yang suka menyakiti perasaan ikan lain namun juga mudah dibodohi oleh ikan lain. Bagaimana tidak? Marlin mencari Nemo bersama Dory yang ia acuhkan. Padahal, hanya Dory yang selalu menemani Marlin kemanapun dengan setia dan membuat segala perjalanan mereka menjadi berhasil dan mengasikkan.
            Sedangkan Dory dalam sudut pandangku, ialah ikan biru indah yang bodoh. Kufikir, Dory ialah ikan yang rela berkorban demi ikan lain. Dory juga ikan baik yang setia kawan. Itulah Dory, tokohku.
            Kemudian Nemo, ia ikan badut kecil yang merepotkan. Yang menghilang sesukanya tanpa memikirkan orang disekitarnya. ia terlihat seperti badut bodoh. Ikan badut yang konyol.
            Seperti aku yang kau nobatkan menjadi sahabatmu. Aku ikan Dory yang selalu menemanimu, Si Marlin sepanjang perjalanan hari-harimu. Aku selalu ada disisimu disaat kau butuh aku. Tapi dengan jahatnya kamu sang Marlin, Ayah Nemo, kau mengacuhkan perhatian dan kehadiranku yang lebih dari sekerdar sahabat setia.
            Kau yang kupilih menjadi sosok Marlin, terus mencari wanitamu yang kunobatkan sebagai Nemo. Tentu saja aku sebagai sahabatmu terus menemanimu mencari wanitamu. Aku Dory konyol yang menemani Marlin dengan setia untuk mencari Nemo. Ah.
            Sedangkan wanita itu, Nemo yang meninggalkanmu, sang Marlin begitu saja. Ia tidak tau kekhawatiranmu. Kenapa Marlin tidak berhenti mencari Nemo? Kenapa Marlin tidak menganggapi kehadiran Dory dengan anggapan lebih? Atau kenapa Dory tidak berhenti saja membantu dan menemani Marlin yang menjengkelkan itu untuk mencari Nemo?
            Sudah jelas bukan sudut pandangku dalam Finding Nemo dan Kehidupan yang terjadi disekelilingku?

Friday, March 29, 2013

Bahagiaku Untukmu



            “Aku sangat bahagia menjadi aku disisimu.
            “Benarkah?”
            “Iya, tentu. Ku mohon, tetaplah disisiku sebagaimana aku dan kamu.
            “Pasti.”
            “Aku pernah bermimpi memiliki seorang kakak laki-laki yang bisa mengerti aku, yang bisa menemaniku saat aku sedih dan tentu saja tidak menyebalkan seperti kakak laki-laki pada umumnya. Dan sekarang, aku sedang bersama seorang kakak laki-lakiku menelusuri hari bersama. Aku suka.”
            “Kakak laki-laki? Aku?”
            “Ya... oh, tentu bukan hanya itu. Aku juga sangat amat menyayangimu sebagai sahabatku yang palingggg baik. Kau tau? Hanya kamu yang rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk menemaniku bercerita dan mengeluarkan semua yang aku ingin ceritakan. Hingga akhirnya aku tertidur kelelahan karena ulahku sendiri yang terlalu bersemangat bercerita. Haha.”
            “Ada anggapan lain lagi tentangku? Mungkin.”
            “Hm...  Kau kakak laki-laki yang sangat amat ku idamkan. Kau juga sahabat yang paling mengerti diriku. Ya, kau bisa menjadi dewasa saat aku butuh kau menjadi dewasa. Didetik lain, kau bisa menjadi sahabat yang mengasikkan untukku.
            “Hm...”
            “Hei, jangan melihatku begitu. Jangan melambung tinggi.”
            “Oh, iya. Aku sahabatmu dan kakakmu. Kira-kira, bisakah semua ini berubah? Aku tidak lagi menjadi sahabat dan kakakmu. Mungkin bisa menjadi........”
            “Oh, tidak! Kumohon tetaplah menjadi kakak dan sahabat yang baik untukku. Jangan coba-coba untuk tinggalkan aku!
            “Maaf, bukan begitu maksudku.”
            “Ku mohon, berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan merubah segalanya pada kita dan tetap menjadi sahabat dan kakak yang baik untukku.”
            “Jika aku berjanji, kau akan bahagia?”
            “Tentu! Selamanya.”
            “Baiklah, aku tidak akan meninggalkanmu dengan alasan apapun.”
“Lalu?”
“Yaa... aku akan menjadi sahabat dan kakak laki-laki yang baik untuk wanita yang kini berada disampingku.”
“Selamanya?”
“Hm, ya. Selamanya.” 

Sunday, March 17, 2013

Bintang Jatuh Yang Terjatuh


Jangan bertingkah seolah kau satu-satunya bintang jatuh didunia. Jangan menganggap diriku hanya bisa menggantungkan harapanku padamu saja. Jangan berharap aku akan terus menggantungkan harapanku pada satu bintang jatuh yang tak kunjung mengabulkan harapanku.
Percayalah, kau bukanlah satu-satunya bintang jatuh didunia. Masih banyak bermilyar-milyar bintang jatuh didunia yang bisa kugantungkan harapanku pada mereka. Masih banyak pula bintang-bintang yang belum terjatuh dan mungkin akan terjatuh yang bisa kuharapkan.
Kau hanyalah seonggok bintang jatuh yang kebetulan tergelincir hingga kehadapanku. Mungkin memang hanya kau yang kini tertera dihadapanku, tapi nyatanya tak hanya kau sang bintang jatuh. Mungkin dan memang pasti suatu saat nanti aku melihat bintang jatuh lain yang mungkin bisa lebih cepat mengabulkan harapanku tanpa terlalu lama digantungkan begitu saja.
Jika kau tidak berniat mengabulkan harapanku, aku akan dengan ikhlas melepaskanmu kembali kelangit dan membiarkanmu terjatuh dihadapan pengharap lain. Jika memang itu terjadi, aku rela membuang malamku menunggu bintang jatuh yang cahayanya lebih nyata dimataku dan juga bisa menyatakan harapanku.
Jika kau berniat mengabulkan harapanku, cobalah jangan bertingkah angkuh padaku. Aku memang hanya seorang pengharap yang sedang berharap besar padamu, wahai bintangku. Tapi cobalah untuk yakinkanku, bahwa aku tidak menyia-nyiakan malamku untuk menunggumu terjatuh dihadapanku. Yakinkanku bahwa aku tak sia-sia menghabiskan waktuku menggantungkan harapanku padamu. Cobalah tunjukan pintu magis pembawa kenyataan pada harapanku.
Kau hanyalah bintang jatuh yang terjatuh. Yang kemudian kugantungkan harapanku pada satu-satunya bintang yang tergelincir hingga dihadapanku. Kemudian kau gantungkan kembali harapan itu. Hingga aku lelah dan mencoba menerbangkanmu kembali keangkasa luas. Dan pada akhirnya kau terjatuh kembali diantara milyaran pengharap lain. Bukan aku.

Tuesday, March 12, 2013

Aku dan Kamu. Kita.


Aku dan kamu...
Dua sosok yang berbeda namun mencoba menyatukan perbedaan
Mencoba melawan perbedaan untuk bisa menjadi satu
Satu yang menuju kebahagiaan
Bersama...

Aku dan kamu...
Dua sosok yang terlihat sebatas normal tak akan bisa bersama
Tapi kitalah sosok normal yang mencoba luar biasa
Kita yang mencoba dan akan merubah suatu hal yang normal menjadi tak normal
Untuk bisa bersama
Selamanya...

Aku dan kamu...
Dua sosok ciptaan Tuhan yang dengan kerasnya dinyatakan tak bisa bersama
Namun dengan kekuatan yang tersisa kita berjuang bersama melawan yang ada
Melawan segala rintangan besar diujung perjuangan
Tak peduli guntur menyambar hebat
Tak peduli sang bayu bertiup tak tentu arah setega-teganya ia
Tak peduli jika harus menerjang terik mentari yang menusuk kalbu sang pejuang

Karna pada akhirnya,
Aku dan kamu...
Menemukan jalan terang bersinar indah bak surga dipersimpangan jalan perjuangan
Akhir dari perjuangan bukit terjal berduri yang telah terlewati
Kebahagiaan.

Monday, March 11, 2013

‘Hanya’ Aku Sosok Specialmu?


            Ku fikir, akulah seseorang yang dekat denganmu dengan embel-embel special dihatimu. Ku fikir, aku seorang wanita yang beruntung yang mampu mendapatkan hatimu. Pada nyatanya, perhatian yang selama ini kau berikan padaku memang hanya sebatas perhatian singkat belaka. Tanpa ada rasa.
            Kau tidak tau, saat perhatian kecil yang kau tujukan padaku, seketika pemilik hati kecil yang berdegup kencang ini begitu bahagia. Aku. Aku begitu berharap lebih pada perhatianmu. Aku bahkan dengan yakinnya menunggu perhatian-perhatian lain yang kembali kau tujukan padaku. Aku juga menunggu saat dimana kau benar-benar mewujudkan mimpiku untuk menjadi satu-satunya pendamping hidupmu.
            Kemudian aku tersadar, bahwa pada nyatanya perhatian yang kau tujukan padaku memang bukan hanya untukku. Tapi juga untuk mereka diluar sana. Untuk mereka yang juga mungkin memiliki harapan sepertiku. Ah, aku baru menyadari kebodohanku setelah aku terlampau jauh masuk kejurang harapanku dan terjatuh didalamnya hingga terluka dan tak mampu untuk memanjat kembali jurang itu atau bahkan tak mampu berdiri.
            Bayangkan saja, sudah lama aku dan kamu menyimpan kedekatan kita. Kedekatan yang kufikir akan menjadi kebersamaan. Kedekatan yang sebetulnya memang tidak wajar jika hanya disebut sebatas kedekatan biasa.
            Hanya akukah yang berharap lebih? Tidakkah kamu?
            Memang tidak bisa disalahkan jika pada dasarnya kau orang yang ramah kepada siapapun termasuk aku. Tapi tentu saja akupun tidak begitu salah jika harapan ini muncul begitu saja tanpa bisa ditahan kepada seseorang yang memang terlihat memberi harapan. Memang akulah sang pengharap yang tak pasti. Bukan kamu yang menjadi sang pemberi harapan palsu.
            Saat melihat kau dekat dengan yang lain, aku cemburu. Ada rasa aneh seketika yang menjulur mendesir darahku. Namun aku kembali tersadar saat aku menyadari sosok dan posisiku yang masih sama dengan wanita-wanita yang membuatku merasa aneh dan tidak terima dengan kedekatannya denganmu. Kesadaran itu semakin membunuhku. Aku bukanlah sosok specialmu.
            Apa lagi yang harus aku tak terima? Aku dan mereka hanyalah sesosok wanita yang butuh perhatian. Mungkin.
            Harusnya aku sadar, cemburu ini tidak akan beujung pada kebahagiaan. Kecemburuanku ini akan terus menjai rasa cemburu yang salah arah. Akan menjadi rasa cemburu yang tak tentu alasan dan tidak didasari kepemilikan mutlak. Aku disini hanyalah seseorang yang berharap sendiri tanpa diharapkan. Hanya itu yang aku tau.
            Disisi lain, aku ingin menjauh untuk meredam harapanku yang semakin membuncah tak karuan saat kau kembali memberiku secuil perhatian. Tapi saat perhatian itu tiba dihadapanku, rasanya aku tak ingin hilang dari peredaranmu sekejap saja. Begitu nyaman hidup didalam harapan yang kau bangun jika kau seolah sedang menguatkan harapanku. Tapi begitu memilukan jika tersadar, aku terperangkap didalam benteng harapan yang dimana terdapat banyak yang berharap sama sepertiku didalamnya.
            Saat ingin pergi kesuatu tempat, saat ingin melakukan suatu kegiatan, ada rasa yang mendorongku untuk melaporkan kegiatanku kepadamu. Tapi kembali rsa itu muncul...... siapa aku dimatamu hingga kau wajib mengetahui semua kegiatanku. Rasa itu juga yang muncul saat aku tidak bisa menghubungimu namun aku merasa wajib memberi kabar kepadamu. Ah.
            Aku ingin pergi dari peredaranmu jika itu satu-satunya jalan agarku tidak terperangkap dalam jeratan harpan besar nan terlalu kuat dirapuhkan. Namun aku ingin tetap dekat denganmu jika itu jalan satu-satunya untuk bisa mendapatkanmu suatu hari nanti dengan membiarkanku terkurang diantara harapan tahanan lain bersamaku didalam bentang harapanmu.
            Siapa yang tau hatimu? Jika aku pergi, namun aku begitu yakin kau juga mengharapkanku. Jika aku bertahan, sudah terlalu lama aku hidup dalam harpan yang tak kunjung terkabul dan sampai kapan aku harus menunggu semua hingga tiba.
            Aku ingin tau segala isi hatimu agar kebimbangan ini bisa menjadi kepastian.
            Aku ingin tau segala isi hatimu agar aku bisa menentukan jalanku selanjutnya.

Sunday, March 10, 2013

Penyakit Ini Menghalangi


          Cepat atau lambat, kita tetap akan berpisah. Cepat atau lambat aku akan tetap meninggalkanmu. Jadi, buat apa kau menahanku untuk tidak mengakhiri hubungan yang sudah jelas kita ketahui akhirnya ini? Untuk apa lagi kita bertahan pada kebahagiaan yang sebentar ataupun lama akan berujung pada kesedihan?
          Aku. Seorang wanita berpenyakit yang akan meraungi ruang-ruang kosong otakmu setiap waktu. Cepat atau lambat, aku akan meninggalkanmu dengan lebel kematian. Aku lelah jika harus mengganggu segala kegiatanmu dengan munculnya aku diotakku sebagai wanita lemah yang kondisinya patut diperhatikan. Aku lelah jika dalam setiap kata dalam pesanmu, telfonmu, bahkan jika kita bertemu kau selalu memintaku untuk menjaga sisa-sisa kekuatan tubuhku yang pada dasar kenyataannya tidak bisa kupertahankan. Aku lelah jika harus merasa merepotkan dirimu, seseorang yang amat kucintai.
          Dalam mimpiku, disisa-sisa hidupku, aku hanya ingin melihatmu tersenyum selayaknya orang bahagia pada dasarnya. Bukan tersenyum seperti seseorang yang baru menemukan barang kesayangannya yang tetap berada ditempatnya saat ia tinggal pergi. Itulah tatapanmu saat kau melihatku. Senyum lega. Tanda kau menemukanku masih bernafas dan belum terbujur kaku ditempat tidurku. Disisi lain, aku jatuh cinta pada senyummu. Tapi dilubuk hatiku, aku kembali membenci kesadaranku yang muncul tiba-tiba saat kau tersenyum mengasihaniku.
          Kau tau? Aku ingin kau pergi tentu saja untuk kebaikkan kita. Aku ingin kau pergi dari pandanganku, agar aku tak perlu menahan rasa tak enak hatiku saat aku meropotkanmu karena penyakitku. Dan baiknya kau pergi dari sisikupun agar kau bisa bahagia dengan wanita yang sehat dan kalian bisa menjalani cinta yang normal seperti pasangan-pasangan lain diluar sana. Aku tau, saat kau berkata kau bahagia asal berada disisiku, itu tidak sepenuhnya pernyataan jujur. Aku tau yang seseungguhnya ingin kau katakan, bahwa kau bahagia jika berada disisiku, berjalan berdampingan denganku, bukan mendorong kursi rodaku dari belakang punggungku.
          Kau pergi. Itu yang terbaik.

Thursday, March 7, 2013

Cinta Dibalik Layar



         Melihatmu dari sudut pandang yang sekiranya tidak akan kau ketahui itu bagaikan melihat pelangi dari balik bukit. Menikmati keindahan ciptaan Tuhan tanpa disadari sang ciptaan. Tapi aku jauh lebih menikmati itu disbanding harus bertemu denganmu, berpapasan denganmu, melihatmu secara detail lebih dekat. Itu membuatku tidak bisa menikmati apa yang kupandang.
            Jika bertemu denganmu, aku lebih memilih menundukkan wajahku. Bukan justru melihatmu secara dekat. Karena, aku justru semakin sibuk menata degup jantungku. Aku terlalu takut. Takut saat berpapasan denganmu, kau berhasil mendengar degup jantungku. Aku tau, melihatmu dari jauh saja, bahkan dengan hanya mengingatmu, aku bisa seketika menjadi orang berdegup jantung ubnormal. Apalagi jika harus berpapasan denganmu. Semakin menjadi-jadi ledakan pada hatiku. Aku takut kau mendengarnya. Jadi, saat berpapasan hanya akan membuatku fokus dengan degup jantungku dan tidak sempat menata pandanganku padamu.

            Aku tau, mungkin memang hanya aku yang seperti ini. Seseorang yang jatuh cinta, namun hanya bisa dan mampu melihat sang pujaan hati dari balik layar yang tidak disadari sang pujaan. Tapi beginilah aku. Bagiku, jatuh cinta tidak butuh ekspose yang berlebihan. Aku lebih suka jatuh cinta seperti jalanku mencinta. Lagipula, apadaya kupaksakan hatiku diam namun ia tetap histeris tak berujung.

            Padahal, kau jelas tau aku mencintaimu. Begitu juga aku yang sudah mendapatkan pernyataan cintamu untukku. Tapi tetap saja, aku tidak suka kau tau aku melihatmu. Bahkan aku berpikir kau tidak pernah melakukan apa yang aku lakukan. Tapi diam-diam aku berharap, didalam ketidak tauanku dalam tatapanmu yang tertuju padaku, aku berharap kau juga melihatku dibaik layarmu yang kau setting sedemikian rupa. Ah, tapi aku tak tau bagaimana kenyataannya.

            Aku memang tak pernah menunjukkan secara langsung bahwa aku tidak baik-baik saja saat berpapasan denganmu. Tapi entahlah, jika gelagatku berubah menjadi kaku, saat kepiting rebus berwarna seperti wajahku, saat senyumku tidak sinkron dengan otakku. Entah jika semua itu secara tidak sengaja kutunjukkan dan kau menyadarinya.

            Kita yang saling jatuh cinta. Namun saling menjauh agar tak bertemu. Lucu. Namun muncul keunikkan yang menimbulkan kesan indah dalam hubungan yang kita buat sedemikian rupa adanya. Aku suka cara kita bersama. Aku suka caraku merasa mendekatimu. Aku suka saat aku merasa lebih dekat denganmu saatku menatapmu dalam duniaku. Aku suka semua hal yang ada dan tertuju padamu. 




Wednesday, February 27, 2013

Dentuman Hati Yang Tak Normal



Mengingatmu saja, sudah berhasil dengan mulus memporakporandakan hati ini... mengingat namamu, membayangkan wajahmu, mulai berlari-lari diotakku yang pada akhirnya berhasil berlari kehatiku. Dentuman-dentuman hati yang mulai tidak teratur, yang semakin berdegup saat bayanganmu semakin nyata. Hanya dengan mengingatmu, yang kemudian kunyatakan dalam hatiku, sudah berhasil membuatku memiliki degup jantung yang jauh dari batas normal.


Membayangkanmu selalu berhasil mengubah kebisingan sekitar menjadi sayupan melodi-melodi nyata diudara, dengan bayangmu melatari melodi bagaikan sebuah konser recital dialamku... disaat aku jenuh dan merasa sakit kepala dengan kebisingan disekitarku yang aku tak suka itu, aku hanya butuh melantunkan namamu dalam hati dan seketika aku melihat bayangmu. Bayangmu yang kemudian semakin nyata mulai melantunkan melodi-melodi indah khas bayangan dirimu dihatiku. Seketika, kebisingan yang tak kusuka, berubah bagaikan konser recital. Bagaikan dentingan-dentingan piano yang dimainkan dikonser recital dengan panggung megah yang dilatari bayanganmu. Indah.


Aku pernah jatuh cinta sebelum menjatuhkan cinta ini padamu. Tapi cinta yang berbeda. Cinta yang tanpa perjuangan berarti seperti ini... kau memang bukan cinta pertamaku. Tapi kau yang pertama kuperjuangkan. Sebelumnya, aku tidak pernah menerjang terjal untuk jatuh cinta. Aku hanya perlu menunggu cinta yang kemudian meluncur mulus dihadapku. Tapi kini, saat dimana aku menginginkanmu. Akulah yang justru harus meluncur hebat bebatuan nan berpasir untuk bertemumu disebrang yang juga kaulewati dengan gelap dan pijakan duri.


Karena pada nyatanya, cinta tak hanya membutuhkan ketulusan. Sudah takdir alam jika cintapun menuntut keadaan... aku dan kamu. Kita. Aku jatuh cinta padamu yang juga jatuh cinta padaku. Namun, pada nyatanya cinta tak sesimple saling jatuh cinta. Cintapun juga butuh sebuah ketulusan kuat bagaikan malaikat yang membutuhkan sayap untuk terbang menuju langit yang merupakan impiannya. Sejenak kemudian setelah kita mendapatkan cinta, kita kembali mendapatkan ketulusan yang kita yakini bersama. Aku hanya ingin dirimu yang juga berkata hanya inginkan diriku. Bahkan kita sudah berjanji akan bersama jika semua syarat sudah terpenuhi. Syarat yang kembali menjatuhkan harapan kita. Mematahkan sayap sang malaikat. Cinta. Ketulusan. Dan keadaan. Kita tak dapatkan keadaan. Keadaan tidak mendukung kita. Atau lebih tepatnya, belum. Dan kita, bersama, tetap menunggu saat dimana keadaan yang-merupakan-syarat-indah-terakhir-kita tiba.


Aku berhasil mengurungmu dihatiku tanpa memberimu celah sedikitpun untuk beranjak pergi... kita bersama telah berjanji untuk mengurung satu sama lain dihati masing-masing untuk menunggu happy ending kita yang telah dalam perjalanan menghampiri kita. Dan aku, dengan yakinnya, dengan tega tanpa ampun, mengurungmu kuat-kuat ditempatmu yang seharusnya. Dihatiku. Bahkan, dengan kejamnya, aku akan tetap mengurungmu dibenteng pertahanan hatiku walaupan happy ending kita telah tiba. Aku tidak akan segan mempertahankanmu untuk tetap dihatiku. Bahkan aku rela jika setiap hari aku harus memperkokoh bentengku dengan kepadatan super untuk membuatmu tetap disini. Aku bisa. Selamanya. Lantas, mampukah kamu mengurungku? Ah, tanpa kau kurung akupun, aku tidak akan mau keluar dari gubukmu. Biarpun mungkin gubukmu tak sekokoh bentengku untuk mengurungku, aku tetap akan disana. Terkecuali kau mengusirku, dan mendatangkan seorang malaikat lain yang menolongmu untuk lepas dari bentengku.

Friday, February 15, 2013

Menyerah? Bertahan? Berjuang?


            Sudah jelas bukan, bahwa Tuhan tidak akan menguji hambanya dengan apa yang hambanya tak mampu selesaikan? Lantas, apa semua yang telah terjadi dan telah kita perjuangkan tanpa henti masih bisa dibilang ujian-Nya? Tidakkah ini takdir dari skenario yang telah dibuat-Nya? Tidakkah berpikir realistis bahwa selama ini kita hanya mencoba naif pada kenyataan? Haruskah kita menyerah dan mencoba realistis dengan apa yang telah tertera dijalan takdir kita masing-masing? Tidakkah kita mengaku lelah dengan perjuangan yang tak berujung ini? Bukankah kita sudah sama-sama lelah mencoba merubah apa yang terjadi pada kita? Dan apakah sejauh perjuangan kita ini ada suatu hal yang berubah meskipun sedikit demi sedikit? Tidak, bukan? Lantas apa yang kita tunggu untuk berhenti bertahan? Apakah hanya bertahan bisa membuat kita hidup bersama? Bahagia? Tanpa menyelesaikan segala penghalang yang ada, akankah hubungan ini menjadi nyata? Lalu, apakah yang harus kita lakukan lagi? Haruskah kita menyerah? Haruskah kita hanya bertahan dan berdiam diri? Haruskah kita mencoba dan terus mencoba melawan semua yang ada?

Tuesday, February 12, 2013

Bongkahan Hidupku Nyaris Menyublim



             Aku sudah terlalu terbiasa berbagi masalahku denganmu. Menceritakan segalanya kepadamu. Memang hanya kamulah yang selalu ada disaat ku butuh. Disaat aku ingin dan merasa butuh mencurahkan isi hatiku, masalahku, tidak lain dan tidak bukan, memang hanya namamu yang seketika terpampang diotakku untukku bagi cerita-ceritaku. Aku sudah terlampau nyaman dengan kebiasaanku bercerita denganmu. Ah, rasa percaya dan rasa nyaman ini sudah terlampau jauh melewati batas yang pernah ku tujukan padamu yang namun kini telah ku abaikan. Namun kini, masalah  datang padaku, masalah yang pada nyatanya tidak terlalu besar. Rasanya hanya dengan bercerita dengan orang lain, aku bisa menyelesaikannya. Tapi seketika, saat dimana aku menyadari bahwa masalah ini tak semudah yang kubayangkan, yaitu saat dimana aku sadar, masalah kecil ini menyangkut dirimu. Dirimu yang tak mungkin kubagi cerita ini. Dirimulah masalahku. Seketika, masalah ini terasa begitu besar dan berat. Aku butuh berbagi masalah ini. Padamu. Hanya kamu. Tapi itulah satu masalah besar yang timbul dari masalah ini.... Bagaimana aku bisa merasa butuh berbagi masalah kepadamu saat masalah itu adalah kamu...
Setiap masalah yang mendera ku, aku hanya butuh kamu. Tidak, tidak, aku mungkin memang butuh solusi yang mungkin bisa membantuku, tapi rasanya dan memang mutlaknya, aku jauh lebih membutuhkan kehadiranmu dengan kata-kata penegar ajaibmu yang tertuju padaku. Kata-kata penyemangat yang telah kau racik sedemikian rupa hingga menyentuh dalam dihatiku. Tapi seketika aku sadar kembali keduniaku. Aku tak bisa mendapatkan penegar darimu dalam masalahku yang sekarang. Karena masalahku mengharuskanku menjauhimu. Jelas tidak mungkin aku mendapat kata-kata ramuanmu jika aku harus menjauhimu. Masalah yang cukup besar untukku. Saat dimana aku membutuhkanmu, namun aku justru harus menjauhimu. Memikirkannya saja sudah terasa amat rumit. Rasanya aku tidak ingin memikirkannya. Tapi kenyataan berkata lain, memang aku tidak diharuskan untuk memikirkan ini, tapi lebih tepatnya diharuskan melewati ini. Rumit... Bagaimana aku bisa merasa tegar dengan masalah yang mengharuskanku hilang dari peredaranmu saat penegarku adalah kata semangat darimu...

Kau tau? Sudah cukup lama aku berada disisimu. Bahkan, aku merasa menghubungi dan dihubungi olehmu adalah suatu rutinitas yang memang wajib disetiap hari-hariku. Rutinitas yang mewajibkanku untuk tetap disisimu. Rutinitas yang membuat segalanya berubah menjadi lebih indah. Satu-satunya rutinitas yang kuyakinkan aku tidak akan merasa bosan dengan ini. Aku menikmati rutinitas baruku. Sangat amat menikmati. Kewajiban baru dihari-hariku, tidak menjadi beban dihidupku. Bahkan aku merasa lengkap dengan hari-hariku disisimu. Bayangkan saja, jika dimana kewajibanku adalah memenuhi rutinitas dan rutinitasku adalah berada disisimu, dan saat itu pula suatu kewajiban lain mewajibkanku untuk pergi dari sisimu. Kewajiban lain dari pihak lain yang kembali memasuki rutinitas baru dengan mencoba mengganti rutinitasku yang telah kunyamani ini dengan sesuatu yang terkesan wajib kujalani pula. Padahal, aku sudah nyaman dengan rutinitasku kini... Bagaimana aku bisa memenuhi suatu hal yang terdegar wajib untuk menjauhimu disaat aku merasa kewajibbanku adalah berada disisimu...

Rutinitas yang ditawarkan kewajiban lain mengambung-ambungkan suatu janji kehidupan yang lebih baik untukku. Dengan rutinitas baruku, dengan kewajiban baruku, dengan ketidak hadiranmu. Menawarkanku suatu kehidupan yang lebih baik yang akan kuhadapi. Kamu dihidupku adalah pelengkap yang tidak boleh tertinggal. Akankah akan terasa lebih nyaman jika pelengkap itu tak ikut serta lagi dalam hidupku. Aku yakin segalanya akan berbeda. Bahkan aku meyakini semuanya justru tidak akan lebih baik tanpa pelengkapku. Hanya saja kewajiban baruku terus menerus memaksa dan mengambung-ambung impianku. Padahal, dengan adanya pelengkapku saja sudah berhasil memperindah hari-hariku. Apa lagi yang harus kuperindah dan ku perbaiki... Bagaimana aku bisa merasa hidup lebih baik dengan ketidakadaan dirimu sedangkan pelengkap hidupku adalah sosokmu...

Wednesday, February 6, 2013

Kesedihan Mencoba Merapuhkan



Tuhan... kau tidak adil. Kau selalu memberiku rasa sedih dan sakit hati ini. Aku lelah Tuhan... rasanya aku ingin marah dengan apa yang terjadi dihidupku. Tapi aku tau, aku tak punya hak untuk itu. Aku lelah Tuhan... lelah dengan apa yang telah kuterima. Aku lelah dengan skenario ini. Aku bahkan tidak merasa aku kuat menghabiskan cerita ini hingga ending yang entah bagaimana akan tiba. Ah, aku hanya ingin merubah skenario kehidupan ini. Aku hanya ingin merasakan apa yang ingin ku rasakan. Mendapatkan apa yang aku inginkan.

-Apa yang salah? Kenapa harus marah dengan skenario yang telah dibuat Tuhan?


Tuhan.... Kenapa aku yang harus menerima semua ini? Kenapa aku yang harus menderita? Tidakkah kau berikan saja kesedihan ini kepada orang lain diluar sana. Aku jenuh dengan kesedihanku. Hambar rasanya saat kesedihan ini terus melanda tanpa henti. Haruskah aku yang menerima ketidak sukaan hati? Tidakkah ada orang lain yang mungkin sering bahagia lalu merasakan sedih ini sesekali, Tuhan?

-Kenapa saat sedih harus bertanya “Kenapa aku?” kepada Tuhan? Apa saat senangpun bertanya “Kenapa aku?” pada Tuhan?


Aku lelah. Aku jenuh. Aku menyerah dengan rasa sedih. Aku ingin bahagia. Aku ingin tertawa. Tak lagi menangis. Aku ingin senang.... sepanjang hari. Sepanjang hayat. Tanpa henti. Tanpa celah. Bahkan aku rela jika bibir ini tak berhenti melengkung keatas dengan mantapnya. Aku hanya sudah merasa cukup dengan kesedihan sedu yang sudah pernah dan bahkan terlalu sering kurasakan. Bahkan rasanya, aku hampir merasa asing dengan ketidak hadiran kesedihan dihari-hariku.

-Kenapa merasa tak terima dengan rasa sedih? Bukankah senang dan sedih itu diciptakan satu paket?

Finding Nemo Dalam Sudut Pandangku

0



            Kamu tau film Finding Nemo, bukan? Aku melihat cerita kita didalam cerita Finding Nemo. Dengan sudut pandang yang tak biasa dari orang-orang yang sudah menonton, aku menemukan sosok aku, kamu, dan wanita itu dalam film ini. Saat aku menyadarinya, aku benci film Finding Nemo. Film itu mengingatkanku pada kekejaman cinta padamu.
            Kau tau tokoh Dory si ikan biru yang menemani  Ayah Nemo untuk mencari Nemo? Itulah Aku. Tokohku. Dan aku nobatkan kamu sebagai Ayah Nemo, bernama Marlin. Dan wanita itu, ku nobatkan sebagai satu-satunya tokoh penting yang tersisa, Nemo. Tapi dalam ceritaku, Dory-lah yang menjadi pemeran utamanya.
            Dalam sudut pandangku, Marlin ialah sosok ikan jahat yang suka menyakiti perasaan ikan lain namun juga mudah dibodohi oleh ikan lain. Bagaimana tidak? Marlin mencari Nemo bersama Dory yang ia acuhkan. Padahal, hanya Dory yang selalu menemani Marlin kemanapun dengan setia dan membuat segala perjalanan mereka menjadi berhasil dan mengasikkan.
            Sedangkan Dory dalam sudut pandangku, ialah ikan biru indah yang bodoh. Kufikir, Dory ialah ikan yang rela berkorban demi ikan lain. Dory juga ikan baik yang setia kawan. Itulah Dory, tokohku.
            Kemudian Nemo, ia ikan badut kecil yang merepotkan. Yang menghilang sesukanya tanpa memikirkan orang disekitarnya. ia terlihat seperti badut bodoh. Ikan badut yang konyol.
            Seperti aku yang kau nobatkan menjadi sahabatmu. Aku ikan Dory yang selalu menemanimu, Si Marlin sepanjang perjalanan hari-harimu. Aku selalu ada disisimu disaat kau butuh aku. Tapi dengan jahatnya kamu sang Marlin, Ayah Nemo, kau mengacuhkan perhatian dan kehadiranku yang lebih dari sekerdar sahabat setia.
            Kau yang kupilih menjadi sosok Marlin, terus mencari wanitamu yang kunobatkan sebagai Nemo. Tentu saja aku sebagai sahabatmu terus menemanimu mencari wanitamu. Aku Dory konyol yang menemani Marlin dengan setia untuk mencari Nemo. Ah.
            Sedangkan wanita itu, Nemo yang meninggalkanmu, sang Marlin begitu saja. Ia tidak tau kekhawatiranmu. Kenapa Marlin tidak berhenti mencari Nemo? Kenapa Marlin tidak menganggapi kehadiran Dory dengan anggapan lebih? Atau kenapa Dory tidak berhenti saja membantu dan menemani Marlin yang menjengkelkan itu untuk mencari Nemo?
            Sudah jelas bukan sudut pandangku dalam Finding Nemo dan Kehidupan yang terjadi disekelilingku?

Bahagiaku Untukmu

0



            “Aku sangat bahagia menjadi aku disisimu.
            “Benarkah?”
            “Iya, tentu. Ku mohon, tetaplah disisiku sebagaimana aku dan kamu.
            “Pasti.”
            “Aku pernah bermimpi memiliki seorang kakak laki-laki yang bisa mengerti aku, yang bisa menemaniku saat aku sedih dan tentu saja tidak menyebalkan seperti kakak laki-laki pada umumnya. Dan sekarang, aku sedang bersama seorang kakak laki-lakiku menelusuri hari bersama. Aku suka.”
            “Kakak laki-laki? Aku?”
            “Ya... oh, tentu bukan hanya itu. Aku juga sangat amat menyayangimu sebagai sahabatku yang palingggg baik. Kau tau? Hanya kamu yang rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk menemaniku bercerita dan mengeluarkan semua yang aku ingin ceritakan. Hingga akhirnya aku tertidur kelelahan karena ulahku sendiri yang terlalu bersemangat bercerita. Haha.”
            “Ada anggapan lain lagi tentangku? Mungkin.”
            “Hm...  Kau kakak laki-laki yang sangat amat ku idamkan. Kau juga sahabat yang paling mengerti diriku. Ya, kau bisa menjadi dewasa saat aku butuh kau menjadi dewasa. Didetik lain, kau bisa menjadi sahabat yang mengasikkan untukku.
            “Hm...”
            “Hei, jangan melihatku begitu. Jangan melambung tinggi.”
            “Oh, iya. Aku sahabatmu dan kakakmu. Kira-kira, bisakah semua ini berubah? Aku tidak lagi menjadi sahabat dan kakakmu. Mungkin bisa menjadi........”
            “Oh, tidak! Kumohon tetaplah menjadi kakak dan sahabat yang baik untukku. Jangan coba-coba untuk tinggalkan aku!
            “Maaf, bukan begitu maksudku.”
            “Ku mohon, berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan merubah segalanya pada kita dan tetap menjadi sahabat dan kakak yang baik untukku.”
            “Jika aku berjanji, kau akan bahagia?”
            “Tentu! Selamanya.”
            “Baiklah, aku tidak akan meninggalkanmu dengan alasan apapun.”
“Lalu?”
“Yaa... aku akan menjadi sahabat dan kakak laki-laki yang baik untuk wanita yang kini berada disampingku.”
“Selamanya?”
“Hm, ya. Selamanya.” 

Bintang Jatuh Yang Terjatuh

0


Jangan bertingkah seolah kau satu-satunya bintang jatuh didunia. Jangan menganggap diriku hanya bisa menggantungkan harapanku padamu saja. Jangan berharap aku akan terus menggantungkan harapanku pada satu bintang jatuh yang tak kunjung mengabulkan harapanku.
Percayalah, kau bukanlah satu-satunya bintang jatuh didunia. Masih banyak bermilyar-milyar bintang jatuh didunia yang bisa kugantungkan harapanku pada mereka. Masih banyak pula bintang-bintang yang belum terjatuh dan mungkin akan terjatuh yang bisa kuharapkan.
Kau hanyalah seonggok bintang jatuh yang kebetulan tergelincir hingga kehadapanku. Mungkin memang hanya kau yang kini tertera dihadapanku, tapi nyatanya tak hanya kau sang bintang jatuh. Mungkin dan memang pasti suatu saat nanti aku melihat bintang jatuh lain yang mungkin bisa lebih cepat mengabulkan harapanku tanpa terlalu lama digantungkan begitu saja.
Jika kau tidak berniat mengabulkan harapanku, aku akan dengan ikhlas melepaskanmu kembali kelangit dan membiarkanmu terjatuh dihadapan pengharap lain. Jika memang itu terjadi, aku rela membuang malamku menunggu bintang jatuh yang cahayanya lebih nyata dimataku dan juga bisa menyatakan harapanku.
Jika kau berniat mengabulkan harapanku, cobalah jangan bertingkah angkuh padaku. Aku memang hanya seorang pengharap yang sedang berharap besar padamu, wahai bintangku. Tapi cobalah untuk yakinkanku, bahwa aku tidak menyia-nyiakan malamku untuk menunggumu terjatuh dihadapanku. Yakinkanku bahwa aku tak sia-sia menghabiskan waktuku menggantungkan harapanku padamu. Cobalah tunjukan pintu magis pembawa kenyataan pada harapanku.
Kau hanyalah bintang jatuh yang terjatuh. Yang kemudian kugantungkan harapanku pada satu-satunya bintang yang tergelincir hingga dihadapanku. Kemudian kau gantungkan kembali harapan itu. Hingga aku lelah dan mencoba menerbangkanmu kembali keangkasa luas. Dan pada akhirnya kau terjatuh kembali diantara milyaran pengharap lain. Bukan aku.

Aku dan Kamu. Kita.

0


Aku dan kamu...
Dua sosok yang berbeda namun mencoba menyatukan perbedaan
Mencoba melawan perbedaan untuk bisa menjadi satu
Satu yang menuju kebahagiaan
Bersama...

Aku dan kamu...
Dua sosok yang terlihat sebatas normal tak akan bisa bersama
Tapi kitalah sosok normal yang mencoba luar biasa
Kita yang mencoba dan akan merubah suatu hal yang normal menjadi tak normal
Untuk bisa bersama
Selamanya...

Aku dan kamu...
Dua sosok ciptaan Tuhan yang dengan kerasnya dinyatakan tak bisa bersama
Namun dengan kekuatan yang tersisa kita berjuang bersama melawan yang ada
Melawan segala rintangan besar diujung perjuangan
Tak peduli guntur menyambar hebat
Tak peduli sang bayu bertiup tak tentu arah setega-teganya ia
Tak peduli jika harus menerjang terik mentari yang menusuk kalbu sang pejuang

Karna pada akhirnya,
Aku dan kamu...
Menemukan jalan terang bersinar indah bak surga dipersimpangan jalan perjuangan
Akhir dari perjuangan bukit terjal berduri yang telah terlewati
Kebahagiaan.

‘Hanya’ Aku Sosok Specialmu?

0


            Ku fikir, akulah seseorang yang dekat denganmu dengan embel-embel special dihatimu. Ku fikir, aku seorang wanita yang beruntung yang mampu mendapatkan hatimu. Pada nyatanya, perhatian yang selama ini kau berikan padaku memang hanya sebatas perhatian singkat belaka. Tanpa ada rasa.
            Kau tidak tau, saat perhatian kecil yang kau tujukan padaku, seketika pemilik hati kecil yang berdegup kencang ini begitu bahagia. Aku. Aku begitu berharap lebih pada perhatianmu. Aku bahkan dengan yakinnya menunggu perhatian-perhatian lain yang kembali kau tujukan padaku. Aku juga menunggu saat dimana kau benar-benar mewujudkan mimpiku untuk menjadi satu-satunya pendamping hidupmu.
            Kemudian aku tersadar, bahwa pada nyatanya perhatian yang kau tujukan padaku memang bukan hanya untukku. Tapi juga untuk mereka diluar sana. Untuk mereka yang juga mungkin memiliki harapan sepertiku. Ah, aku baru menyadari kebodohanku setelah aku terlampau jauh masuk kejurang harapanku dan terjatuh didalamnya hingga terluka dan tak mampu untuk memanjat kembali jurang itu atau bahkan tak mampu berdiri.
            Bayangkan saja, sudah lama aku dan kamu menyimpan kedekatan kita. Kedekatan yang kufikir akan menjadi kebersamaan. Kedekatan yang sebetulnya memang tidak wajar jika hanya disebut sebatas kedekatan biasa.
            Hanya akukah yang berharap lebih? Tidakkah kamu?
            Memang tidak bisa disalahkan jika pada dasarnya kau orang yang ramah kepada siapapun termasuk aku. Tapi tentu saja akupun tidak begitu salah jika harapan ini muncul begitu saja tanpa bisa ditahan kepada seseorang yang memang terlihat memberi harapan. Memang akulah sang pengharap yang tak pasti. Bukan kamu yang menjadi sang pemberi harapan palsu.
            Saat melihat kau dekat dengan yang lain, aku cemburu. Ada rasa aneh seketika yang menjulur mendesir darahku. Namun aku kembali tersadar saat aku menyadari sosok dan posisiku yang masih sama dengan wanita-wanita yang membuatku merasa aneh dan tidak terima dengan kedekatannya denganmu. Kesadaran itu semakin membunuhku. Aku bukanlah sosok specialmu.
            Apa lagi yang harus aku tak terima? Aku dan mereka hanyalah sesosok wanita yang butuh perhatian. Mungkin.
            Harusnya aku sadar, cemburu ini tidak akan beujung pada kebahagiaan. Kecemburuanku ini akan terus menjai rasa cemburu yang salah arah. Akan menjadi rasa cemburu yang tak tentu alasan dan tidak didasari kepemilikan mutlak. Aku disini hanyalah seseorang yang berharap sendiri tanpa diharapkan. Hanya itu yang aku tau.
            Disisi lain, aku ingin menjauh untuk meredam harapanku yang semakin membuncah tak karuan saat kau kembali memberiku secuil perhatian. Tapi saat perhatian itu tiba dihadapanku, rasanya aku tak ingin hilang dari peredaranmu sekejap saja. Begitu nyaman hidup didalam harapan yang kau bangun jika kau seolah sedang menguatkan harapanku. Tapi begitu memilukan jika tersadar, aku terperangkap didalam benteng harapan yang dimana terdapat banyak yang berharap sama sepertiku didalamnya.
            Saat ingin pergi kesuatu tempat, saat ingin melakukan suatu kegiatan, ada rasa yang mendorongku untuk melaporkan kegiatanku kepadamu. Tapi kembali rsa itu muncul...... siapa aku dimatamu hingga kau wajib mengetahui semua kegiatanku. Rasa itu juga yang muncul saat aku tidak bisa menghubungimu namun aku merasa wajib memberi kabar kepadamu. Ah.
            Aku ingin pergi dari peredaranmu jika itu satu-satunya jalan agarku tidak terperangkap dalam jeratan harpan besar nan terlalu kuat dirapuhkan. Namun aku ingin tetap dekat denganmu jika itu jalan satu-satunya untuk bisa mendapatkanmu suatu hari nanti dengan membiarkanku terkurang diantara harapan tahanan lain bersamaku didalam bentang harapanmu.
            Siapa yang tau hatimu? Jika aku pergi, namun aku begitu yakin kau juga mengharapkanku. Jika aku bertahan, sudah terlalu lama aku hidup dalam harpan yang tak kunjung terkabul dan sampai kapan aku harus menunggu semua hingga tiba.
            Aku ingin tau segala isi hatimu agar kebimbangan ini bisa menjadi kepastian.
            Aku ingin tau segala isi hatimu agar aku bisa menentukan jalanku selanjutnya.

Penyakit Ini Menghalangi

0


          Cepat atau lambat, kita tetap akan berpisah. Cepat atau lambat aku akan tetap meninggalkanmu. Jadi, buat apa kau menahanku untuk tidak mengakhiri hubungan yang sudah jelas kita ketahui akhirnya ini? Untuk apa lagi kita bertahan pada kebahagiaan yang sebentar ataupun lama akan berujung pada kesedihan?
          Aku. Seorang wanita berpenyakit yang akan meraungi ruang-ruang kosong otakmu setiap waktu. Cepat atau lambat, aku akan meninggalkanmu dengan lebel kematian. Aku lelah jika harus mengganggu segala kegiatanmu dengan munculnya aku diotakku sebagai wanita lemah yang kondisinya patut diperhatikan. Aku lelah jika dalam setiap kata dalam pesanmu, telfonmu, bahkan jika kita bertemu kau selalu memintaku untuk menjaga sisa-sisa kekuatan tubuhku yang pada dasar kenyataannya tidak bisa kupertahankan. Aku lelah jika harus merasa merepotkan dirimu, seseorang yang amat kucintai.
          Dalam mimpiku, disisa-sisa hidupku, aku hanya ingin melihatmu tersenyum selayaknya orang bahagia pada dasarnya. Bukan tersenyum seperti seseorang yang baru menemukan barang kesayangannya yang tetap berada ditempatnya saat ia tinggal pergi. Itulah tatapanmu saat kau melihatku. Senyum lega. Tanda kau menemukanku masih bernafas dan belum terbujur kaku ditempat tidurku. Disisi lain, aku jatuh cinta pada senyummu. Tapi dilubuk hatiku, aku kembali membenci kesadaranku yang muncul tiba-tiba saat kau tersenyum mengasihaniku.
          Kau tau? Aku ingin kau pergi tentu saja untuk kebaikkan kita. Aku ingin kau pergi dari pandanganku, agar aku tak perlu menahan rasa tak enak hatiku saat aku meropotkanmu karena penyakitku. Dan baiknya kau pergi dari sisikupun agar kau bisa bahagia dengan wanita yang sehat dan kalian bisa menjalani cinta yang normal seperti pasangan-pasangan lain diluar sana. Aku tau, saat kau berkata kau bahagia asal berada disisiku, itu tidak sepenuhnya pernyataan jujur. Aku tau yang seseungguhnya ingin kau katakan, bahwa kau bahagia jika berada disisiku, berjalan berdampingan denganku, bukan mendorong kursi rodaku dari belakang punggungku.
          Kau pergi. Itu yang terbaik.

Cinta Dibalik Layar

0



         Melihatmu dari sudut pandang yang sekiranya tidak akan kau ketahui itu bagaikan melihat pelangi dari balik bukit. Menikmati keindahan ciptaan Tuhan tanpa disadari sang ciptaan. Tapi aku jauh lebih menikmati itu disbanding harus bertemu denganmu, berpapasan denganmu, melihatmu secara detail lebih dekat. Itu membuatku tidak bisa menikmati apa yang kupandang.
            Jika bertemu denganmu, aku lebih memilih menundukkan wajahku. Bukan justru melihatmu secara dekat. Karena, aku justru semakin sibuk menata degup jantungku. Aku terlalu takut. Takut saat berpapasan denganmu, kau berhasil mendengar degup jantungku. Aku tau, melihatmu dari jauh saja, bahkan dengan hanya mengingatmu, aku bisa seketika menjadi orang berdegup jantung ubnormal. Apalagi jika harus berpapasan denganmu. Semakin menjadi-jadi ledakan pada hatiku. Aku takut kau mendengarnya. Jadi, saat berpapasan hanya akan membuatku fokus dengan degup jantungku dan tidak sempat menata pandanganku padamu.

            Aku tau, mungkin memang hanya aku yang seperti ini. Seseorang yang jatuh cinta, namun hanya bisa dan mampu melihat sang pujaan hati dari balik layar yang tidak disadari sang pujaan. Tapi beginilah aku. Bagiku, jatuh cinta tidak butuh ekspose yang berlebihan. Aku lebih suka jatuh cinta seperti jalanku mencinta. Lagipula, apadaya kupaksakan hatiku diam namun ia tetap histeris tak berujung.

            Padahal, kau jelas tau aku mencintaimu. Begitu juga aku yang sudah mendapatkan pernyataan cintamu untukku. Tapi tetap saja, aku tidak suka kau tau aku melihatmu. Bahkan aku berpikir kau tidak pernah melakukan apa yang aku lakukan. Tapi diam-diam aku berharap, didalam ketidak tauanku dalam tatapanmu yang tertuju padaku, aku berharap kau juga melihatku dibaik layarmu yang kau setting sedemikian rupa. Ah, tapi aku tak tau bagaimana kenyataannya.

            Aku memang tak pernah menunjukkan secara langsung bahwa aku tidak baik-baik saja saat berpapasan denganmu. Tapi entahlah, jika gelagatku berubah menjadi kaku, saat kepiting rebus berwarna seperti wajahku, saat senyumku tidak sinkron dengan otakku. Entah jika semua itu secara tidak sengaja kutunjukkan dan kau menyadarinya.

            Kita yang saling jatuh cinta. Namun saling menjauh agar tak bertemu. Lucu. Namun muncul keunikkan yang menimbulkan kesan indah dalam hubungan yang kita buat sedemikian rupa adanya. Aku suka cara kita bersama. Aku suka caraku merasa mendekatimu. Aku suka saat aku merasa lebih dekat denganmu saatku menatapmu dalam duniaku. Aku suka semua hal yang ada dan tertuju padamu. 




Dentuman Hati Yang Tak Normal

0



Mengingatmu saja, sudah berhasil dengan mulus memporakporandakan hati ini... mengingat namamu, membayangkan wajahmu, mulai berlari-lari diotakku yang pada akhirnya berhasil berlari kehatiku. Dentuman-dentuman hati yang mulai tidak teratur, yang semakin berdegup saat bayanganmu semakin nyata. Hanya dengan mengingatmu, yang kemudian kunyatakan dalam hatiku, sudah berhasil membuatku memiliki degup jantung yang jauh dari batas normal.


Membayangkanmu selalu berhasil mengubah kebisingan sekitar menjadi sayupan melodi-melodi nyata diudara, dengan bayangmu melatari melodi bagaikan sebuah konser recital dialamku... disaat aku jenuh dan merasa sakit kepala dengan kebisingan disekitarku yang aku tak suka itu, aku hanya butuh melantunkan namamu dalam hati dan seketika aku melihat bayangmu. Bayangmu yang kemudian semakin nyata mulai melantunkan melodi-melodi indah khas bayangan dirimu dihatiku. Seketika, kebisingan yang tak kusuka, berubah bagaikan konser recital. Bagaikan dentingan-dentingan piano yang dimainkan dikonser recital dengan panggung megah yang dilatari bayanganmu. Indah.


Aku pernah jatuh cinta sebelum menjatuhkan cinta ini padamu. Tapi cinta yang berbeda. Cinta yang tanpa perjuangan berarti seperti ini... kau memang bukan cinta pertamaku. Tapi kau yang pertama kuperjuangkan. Sebelumnya, aku tidak pernah menerjang terjal untuk jatuh cinta. Aku hanya perlu menunggu cinta yang kemudian meluncur mulus dihadapku. Tapi kini, saat dimana aku menginginkanmu. Akulah yang justru harus meluncur hebat bebatuan nan berpasir untuk bertemumu disebrang yang juga kaulewati dengan gelap dan pijakan duri.


Karena pada nyatanya, cinta tak hanya membutuhkan ketulusan. Sudah takdir alam jika cintapun menuntut keadaan... aku dan kamu. Kita. Aku jatuh cinta padamu yang juga jatuh cinta padaku. Namun, pada nyatanya cinta tak sesimple saling jatuh cinta. Cintapun juga butuh sebuah ketulusan kuat bagaikan malaikat yang membutuhkan sayap untuk terbang menuju langit yang merupakan impiannya. Sejenak kemudian setelah kita mendapatkan cinta, kita kembali mendapatkan ketulusan yang kita yakini bersama. Aku hanya ingin dirimu yang juga berkata hanya inginkan diriku. Bahkan kita sudah berjanji akan bersama jika semua syarat sudah terpenuhi. Syarat yang kembali menjatuhkan harapan kita. Mematahkan sayap sang malaikat. Cinta. Ketulusan. Dan keadaan. Kita tak dapatkan keadaan. Keadaan tidak mendukung kita. Atau lebih tepatnya, belum. Dan kita, bersama, tetap menunggu saat dimana keadaan yang-merupakan-syarat-indah-terakhir-kita tiba.


Aku berhasil mengurungmu dihatiku tanpa memberimu celah sedikitpun untuk beranjak pergi... kita bersama telah berjanji untuk mengurung satu sama lain dihati masing-masing untuk menunggu happy ending kita yang telah dalam perjalanan menghampiri kita. Dan aku, dengan yakinnya, dengan tega tanpa ampun, mengurungmu kuat-kuat ditempatmu yang seharusnya. Dihatiku. Bahkan, dengan kejamnya, aku akan tetap mengurungmu dibenteng pertahanan hatiku walaupan happy ending kita telah tiba. Aku tidak akan segan mempertahankanmu untuk tetap dihatiku. Bahkan aku rela jika setiap hari aku harus memperkokoh bentengku dengan kepadatan super untuk membuatmu tetap disini. Aku bisa. Selamanya. Lantas, mampukah kamu mengurungku? Ah, tanpa kau kurung akupun, aku tidak akan mau keluar dari gubukmu. Biarpun mungkin gubukmu tak sekokoh bentengku untuk mengurungku, aku tetap akan disana. Terkecuali kau mengusirku, dan mendatangkan seorang malaikat lain yang menolongmu untuk lepas dari bentengku.

Menyerah? Bertahan? Berjuang?

0


            Sudah jelas bukan, bahwa Tuhan tidak akan menguji hambanya dengan apa yang hambanya tak mampu selesaikan? Lantas, apa semua yang telah terjadi dan telah kita perjuangkan tanpa henti masih bisa dibilang ujian-Nya? Tidakkah ini takdir dari skenario yang telah dibuat-Nya? Tidakkah berpikir realistis bahwa selama ini kita hanya mencoba naif pada kenyataan? Haruskah kita menyerah dan mencoba realistis dengan apa yang telah tertera dijalan takdir kita masing-masing? Tidakkah kita mengaku lelah dengan perjuangan yang tak berujung ini? Bukankah kita sudah sama-sama lelah mencoba merubah apa yang terjadi pada kita? Dan apakah sejauh perjuangan kita ini ada suatu hal yang berubah meskipun sedikit demi sedikit? Tidak, bukan? Lantas apa yang kita tunggu untuk berhenti bertahan? Apakah hanya bertahan bisa membuat kita hidup bersama? Bahagia? Tanpa menyelesaikan segala penghalang yang ada, akankah hubungan ini menjadi nyata? Lalu, apakah yang harus kita lakukan lagi? Haruskah kita menyerah? Haruskah kita hanya bertahan dan berdiam diri? Haruskah kita mencoba dan terus mencoba melawan semua yang ada?

Bongkahan Hidupku Nyaris Menyublim

0



             Aku sudah terlalu terbiasa berbagi masalahku denganmu. Menceritakan segalanya kepadamu. Memang hanya kamulah yang selalu ada disaat ku butuh. Disaat aku ingin dan merasa butuh mencurahkan isi hatiku, masalahku, tidak lain dan tidak bukan, memang hanya namamu yang seketika terpampang diotakku untukku bagi cerita-ceritaku. Aku sudah terlampau nyaman dengan kebiasaanku bercerita denganmu. Ah, rasa percaya dan rasa nyaman ini sudah terlampau jauh melewati batas yang pernah ku tujukan padamu yang namun kini telah ku abaikan. Namun kini, masalah  datang padaku, masalah yang pada nyatanya tidak terlalu besar. Rasanya hanya dengan bercerita dengan orang lain, aku bisa menyelesaikannya. Tapi seketika, saat dimana aku menyadari bahwa masalah ini tak semudah yang kubayangkan, yaitu saat dimana aku sadar, masalah kecil ini menyangkut dirimu. Dirimu yang tak mungkin kubagi cerita ini. Dirimulah masalahku. Seketika, masalah ini terasa begitu besar dan berat. Aku butuh berbagi masalah ini. Padamu. Hanya kamu. Tapi itulah satu masalah besar yang timbul dari masalah ini.... Bagaimana aku bisa merasa butuh berbagi masalah kepadamu saat masalah itu adalah kamu...
Setiap masalah yang mendera ku, aku hanya butuh kamu. Tidak, tidak, aku mungkin memang butuh solusi yang mungkin bisa membantuku, tapi rasanya dan memang mutlaknya, aku jauh lebih membutuhkan kehadiranmu dengan kata-kata penegar ajaibmu yang tertuju padaku. Kata-kata penyemangat yang telah kau racik sedemikian rupa hingga menyentuh dalam dihatiku. Tapi seketika aku sadar kembali keduniaku. Aku tak bisa mendapatkan penegar darimu dalam masalahku yang sekarang. Karena masalahku mengharuskanku menjauhimu. Jelas tidak mungkin aku mendapat kata-kata ramuanmu jika aku harus menjauhimu. Masalah yang cukup besar untukku. Saat dimana aku membutuhkanmu, namun aku justru harus menjauhimu. Memikirkannya saja sudah terasa amat rumit. Rasanya aku tidak ingin memikirkannya. Tapi kenyataan berkata lain, memang aku tidak diharuskan untuk memikirkan ini, tapi lebih tepatnya diharuskan melewati ini. Rumit... Bagaimana aku bisa merasa tegar dengan masalah yang mengharuskanku hilang dari peredaranmu saat penegarku adalah kata semangat darimu...

Kau tau? Sudah cukup lama aku berada disisimu. Bahkan, aku merasa menghubungi dan dihubungi olehmu adalah suatu rutinitas yang memang wajib disetiap hari-hariku. Rutinitas yang mewajibkanku untuk tetap disisimu. Rutinitas yang membuat segalanya berubah menjadi lebih indah. Satu-satunya rutinitas yang kuyakinkan aku tidak akan merasa bosan dengan ini. Aku menikmati rutinitas baruku. Sangat amat menikmati. Kewajiban baru dihari-hariku, tidak menjadi beban dihidupku. Bahkan aku merasa lengkap dengan hari-hariku disisimu. Bayangkan saja, jika dimana kewajibanku adalah memenuhi rutinitas dan rutinitasku adalah berada disisimu, dan saat itu pula suatu kewajiban lain mewajibkanku untuk pergi dari sisimu. Kewajiban lain dari pihak lain yang kembali memasuki rutinitas baru dengan mencoba mengganti rutinitasku yang telah kunyamani ini dengan sesuatu yang terkesan wajib kujalani pula. Padahal, aku sudah nyaman dengan rutinitasku kini... Bagaimana aku bisa memenuhi suatu hal yang terdegar wajib untuk menjauhimu disaat aku merasa kewajibbanku adalah berada disisimu...

Rutinitas yang ditawarkan kewajiban lain mengambung-ambungkan suatu janji kehidupan yang lebih baik untukku. Dengan rutinitas baruku, dengan kewajiban baruku, dengan ketidak hadiranmu. Menawarkanku suatu kehidupan yang lebih baik yang akan kuhadapi. Kamu dihidupku adalah pelengkap yang tidak boleh tertinggal. Akankah akan terasa lebih nyaman jika pelengkap itu tak ikut serta lagi dalam hidupku. Aku yakin segalanya akan berbeda. Bahkan aku meyakini semuanya justru tidak akan lebih baik tanpa pelengkapku. Hanya saja kewajiban baruku terus menerus memaksa dan mengambung-ambung impianku. Padahal, dengan adanya pelengkapku saja sudah berhasil memperindah hari-hariku. Apa lagi yang harus kuperindah dan ku perbaiki... Bagaimana aku bisa merasa hidup lebih baik dengan ketidakadaan dirimu sedangkan pelengkap hidupku adalah sosokmu...

Kesedihan Mencoba Merapuhkan

1



Tuhan... kau tidak adil. Kau selalu memberiku rasa sedih dan sakit hati ini. Aku lelah Tuhan... rasanya aku ingin marah dengan apa yang terjadi dihidupku. Tapi aku tau, aku tak punya hak untuk itu. Aku lelah Tuhan... lelah dengan apa yang telah kuterima. Aku lelah dengan skenario ini. Aku bahkan tidak merasa aku kuat menghabiskan cerita ini hingga ending yang entah bagaimana akan tiba. Ah, aku hanya ingin merubah skenario kehidupan ini. Aku hanya ingin merasakan apa yang ingin ku rasakan. Mendapatkan apa yang aku inginkan.

-Apa yang salah? Kenapa harus marah dengan skenario yang telah dibuat Tuhan?


Tuhan.... Kenapa aku yang harus menerima semua ini? Kenapa aku yang harus menderita? Tidakkah kau berikan saja kesedihan ini kepada orang lain diluar sana. Aku jenuh dengan kesedihanku. Hambar rasanya saat kesedihan ini terus melanda tanpa henti. Haruskah aku yang menerima ketidak sukaan hati? Tidakkah ada orang lain yang mungkin sering bahagia lalu merasakan sedih ini sesekali, Tuhan?

-Kenapa saat sedih harus bertanya “Kenapa aku?” kepada Tuhan? Apa saat senangpun bertanya “Kenapa aku?” pada Tuhan?


Aku lelah. Aku jenuh. Aku menyerah dengan rasa sedih. Aku ingin bahagia. Aku ingin tertawa. Tak lagi menangis. Aku ingin senang.... sepanjang hari. Sepanjang hayat. Tanpa henti. Tanpa celah. Bahkan aku rela jika bibir ini tak berhenti melengkung keatas dengan mantapnya. Aku hanya sudah merasa cukup dengan kesedihan sedu yang sudah pernah dan bahkan terlalu sering kurasakan. Bahkan rasanya, aku hampir merasa asing dengan ketidak hadiran kesedihan dihari-hariku.

-Kenapa merasa tak terima dengan rasa sedih? Bukankah senang dan sedih itu diciptakan satu paket?