Pages

Wednesday, February 27, 2013

Dentuman Hati Yang Tak Normal



Mengingatmu saja, sudah berhasil dengan mulus memporakporandakan hati ini... mengingat namamu, membayangkan wajahmu, mulai berlari-lari diotakku yang pada akhirnya berhasil berlari kehatiku. Dentuman-dentuman hati yang mulai tidak teratur, yang semakin berdegup saat bayanganmu semakin nyata. Hanya dengan mengingatmu, yang kemudian kunyatakan dalam hatiku, sudah berhasil membuatku memiliki degup jantung yang jauh dari batas normal.


Membayangkanmu selalu berhasil mengubah kebisingan sekitar menjadi sayupan melodi-melodi nyata diudara, dengan bayangmu melatari melodi bagaikan sebuah konser recital dialamku... disaat aku jenuh dan merasa sakit kepala dengan kebisingan disekitarku yang aku tak suka itu, aku hanya butuh melantunkan namamu dalam hati dan seketika aku melihat bayangmu. Bayangmu yang kemudian semakin nyata mulai melantunkan melodi-melodi indah khas bayangan dirimu dihatiku. Seketika, kebisingan yang tak kusuka, berubah bagaikan konser recital. Bagaikan dentingan-dentingan piano yang dimainkan dikonser recital dengan panggung megah yang dilatari bayanganmu. Indah.


Aku pernah jatuh cinta sebelum menjatuhkan cinta ini padamu. Tapi cinta yang berbeda. Cinta yang tanpa perjuangan berarti seperti ini... kau memang bukan cinta pertamaku. Tapi kau yang pertama kuperjuangkan. Sebelumnya, aku tidak pernah menerjang terjal untuk jatuh cinta. Aku hanya perlu menunggu cinta yang kemudian meluncur mulus dihadapku. Tapi kini, saat dimana aku menginginkanmu. Akulah yang justru harus meluncur hebat bebatuan nan berpasir untuk bertemumu disebrang yang juga kaulewati dengan gelap dan pijakan duri.


Karena pada nyatanya, cinta tak hanya membutuhkan ketulusan. Sudah takdir alam jika cintapun menuntut keadaan... aku dan kamu. Kita. Aku jatuh cinta padamu yang juga jatuh cinta padaku. Namun, pada nyatanya cinta tak sesimple saling jatuh cinta. Cintapun juga butuh sebuah ketulusan kuat bagaikan malaikat yang membutuhkan sayap untuk terbang menuju langit yang merupakan impiannya. Sejenak kemudian setelah kita mendapatkan cinta, kita kembali mendapatkan ketulusan yang kita yakini bersama. Aku hanya ingin dirimu yang juga berkata hanya inginkan diriku. Bahkan kita sudah berjanji akan bersama jika semua syarat sudah terpenuhi. Syarat yang kembali menjatuhkan harapan kita. Mematahkan sayap sang malaikat. Cinta. Ketulusan. Dan keadaan. Kita tak dapatkan keadaan. Keadaan tidak mendukung kita. Atau lebih tepatnya, belum. Dan kita, bersama, tetap menunggu saat dimana keadaan yang-merupakan-syarat-indah-terakhir-kita tiba.


Aku berhasil mengurungmu dihatiku tanpa memberimu celah sedikitpun untuk beranjak pergi... kita bersama telah berjanji untuk mengurung satu sama lain dihati masing-masing untuk menunggu happy ending kita yang telah dalam perjalanan menghampiri kita. Dan aku, dengan yakinnya, dengan tega tanpa ampun, mengurungmu kuat-kuat ditempatmu yang seharusnya. Dihatiku. Bahkan, dengan kejamnya, aku akan tetap mengurungmu dibenteng pertahanan hatiku walaupan happy ending kita telah tiba. Aku tidak akan segan mempertahankanmu untuk tetap dihatiku. Bahkan aku rela jika setiap hari aku harus memperkokoh bentengku dengan kepadatan super untuk membuatmu tetap disini. Aku bisa. Selamanya. Lantas, mampukah kamu mengurungku? Ah, tanpa kau kurung akupun, aku tidak akan mau keluar dari gubukmu. Biarpun mungkin gubukmu tak sekokoh bentengku untuk mengurungku, aku tetap akan disana. Terkecuali kau mengusirku, dan mendatangkan seorang malaikat lain yang menolongmu untuk lepas dari bentengku.

Friday, February 15, 2013

Menyerah? Bertahan? Berjuang?


            Sudah jelas bukan, bahwa Tuhan tidak akan menguji hambanya dengan apa yang hambanya tak mampu selesaikan? Lantas, apa semua yang telah terjadi dan telah kita perjuangkan tanpa henti masih bisa dibilang ujian-Nya? Tidakkah ini takdir dari skenario yang telah dibuat-Nya? Tidakkah berpikir realistis bahwa selama ini kita hanya mencoba naif pada kenyataan? Haruskah kita menyerah dan mencoba realistis dengan apa yang telah tertera dijalan takdir kita masing-masing? Tidakkah kita mengaku lelah dengan perjuangan yang tak berujung ini? Bukankah kita sudah sama-sama lelah mencoba merubah apa yang terjadi pada kita? Dan apakah sejauh perjuangan kita ini ada suatu hal yang berubah meskipun sedikit demi sedikit? Tidak, bukan? Lantas apa yang kita tunggu untuk berhenti bertahan? Apakah hanya bertahan bisa membuat kita hidup bersama? Bahagia? Tanpa menyelesaikan segala penghalang yang ada, akankah hubungan ini menjadi nyata? Lalu, apakah yang harus kita lakukan lagi? Haruskah kita menyerah? Haruskah kita hanya bertahan dan berdiam diri? Haruskah kita mencoba dan terus mencoba melawan semua yang ada?

Tuesday, February 12, 2013

Bongkahan Hidupku Nyaris Menyublim



             Aku sudah terlalu terbiasa berbagi masalahku denganmu. Menceritakan segalanya kepadamu. Memang hanya kamulah yang selalu ada disaat ku butuh. Disaat aku ingin dan merasa butuh mencurahkan isi hatiku, masalahku, tidak lain dan tidak bukan, memang hanya namamu yang seketika terpampang diotakku untukku bagi cerita-ceritaku. Aku sudah terlampau nyaman dengan kebiasaanku bercerita denganmu. Ah, rasa percaya dan rasa nyaman ini sudah terlampau jauh melewati batas yang pernah ku tujukan padamu yang namun kini telah ku abaikan. Namun kini, masalah  datang padaku, masalah yang pada nyatanya tidak terlalu besar. Rasanya hanya dengan bercerita dengan orang lain, aku bisa menyelesaikannya. Tapi seketika, saat dimana aku menyadari bahwa masalah ini tak semudah yang kubayangkan, yaitu saat dimana aku sadar, masalah kecil ini menyangkut dirimu. Dirimu yang tak mungkin kubagi cerita ini. Dirimulah masalahku. Seketika, masalah ini terasa begitu besar dan berat. Aku butuh berbagi masalah ini. Padamu. Hanya kamu. Tapi itulah satu masalah besar yang timbul dari masalah ini.... Bagaimana aku bisa merasa butuh berbagi masalah kepadamu saat masalah itu adalah kamu...
Setiap masalah yang mendera ku, aku hanya butuh kamu. Tidak, tidak, aku mungkin memang butuh solusi yang mungkin bisa membantuku, tapi rasanya dan memang mutlaknya, aku jauh lebih membutuhkan kehadiranmu dengan kata-kata penegar ajaibmu yang tertuju padaku. Kata-kata penyemangat yang telah kau racik sedemikian rupa hingga menyentuh dalam dihatiku. Tapi seketika aku sadar kembali keduniaku. Aku tak bisa mendapatkan penegar darimu dalam masalahku yang sekarang. Karena masalahku mengharuskanku menjauhimu. Jelas tidak mungkin aku mendapat kata-kata ramuanmu jika aku harus menjauhimu. Masalah yang cukup besar untukku. Saat dimana aku membutuhkanmu, namun aku justru harus menjauhimu. Memikirkannya saja sudah terasa amat rumit. Rasanya aku tidak ingin memikirkannya. Tapi kenyataan berkata lain, memang aku tidak diharuskan untuk memikirkan ini, tapi lebih tepatnya diharuskan melewati ini. Rumit... Bagaimana aku bisa merasa tegar dengan masalah yang mengharuskanku hilang dari peredaranmu saat penegarku adalah kata semangat darimu...

Kau tau? Sudah cukup lama aku berada disisimu. Bahkan, aku merasa menghubungi dan dihubungi olehmu adalah suatu rutinitas yang memang wajib disetiap hari-hariku. Rutinitas yang mewajibkanku untuk tetap disisimu. Rutinitas yang membuat segalanya berubah menjadi lebih indah. Satu-satunya rutinitas yang kuyakinkan aku tidak akan merasa bosan dengan ini. Aku menikmati rutinitas baruku. Sangat amat menikmati. Kewajiban baru dihari-hariku, tidak menjadi beban dihidupku. Bahkan aku merasa lengkap dengan hari-hariku disisimu. Bayangkan saja, jika dimana kewajibanku adalah memenuhi rutinitas dan rutinitasku adalah berada disisimu, dan saat itu pula suatu kewajiban lain mewajibkanku untuk pergi dari sisimu. Kewajiban lain dari pihak lain yang kembali memasuki rutinitas baru dengan mencoba mengganti rutinitasku yang telah kunyamani ini dengan sesuatu yang terkesan wajib kujalani pula. Padahal, aku sudah nyaman dengan rutinitasku kini... Bagaimana aku bisa memenuhi suatu hal yang terdegar wajib untuk menjauhimu disaat aku merasa kewajibbanku adalah berada disisimu...

Rutinitas yang ditawarkan kewajiban lain mengambung-ambungkan suatu janji kehidupan yang lebih baik untukku. Dengan rutinitas baruku, dengan kewajiban baruku, dengan ketidak hadiranmu. Menawarkanku suatu kehidupan yang lebih baik yang akan kuhadapi. Kamu dihidupku adalah pelengkap yang tidak boleh tertinggal. Akankah akan terasa lebih nyaman jika pelengkap itu tak ikut serta lagi dalam hidupku. Aku yakin segalanya akan berbeda. Bahkan aku meyakini semuanya justru tidak akan lebih baik tanpa pelengkapku. Hanya saja kewajiban baruku terus menerus memaksa dan mengambung-ambung impianku. Padahal, dengan adanya pelengkapku saja sudah berhasil memperindah hari-hariku. Apa lagi yang harus kuperindah dan ku perbaiki... Bagaimana aku bisa merasa hidup lebih baik dengan ketidakadaan dirimu sedangkan pelengkap hidupku adalah sosokmu...

Wednesday, February 6, 2013

Kesedihan Mencoba Merapuhkan



Tuhan... kau tidak adil. Kau selalu memberiku rasa sedih dan sakit hati ini. Aku lelah Tuhan... rasanya aku ingin marah dengan apa yang terjadi dihidupku. Tapi aku tau, aku tak punya hak untuk itu. Aku lelah Tuhan... lelah dengan apa yang telah kuterima. Aku lelah dengan skenario ini. Aku bahkan tidak merasa aku kuat menghabiskan cerita ini hingga ending yang entah bagaimana akan tiba. Ah, aku hanya ingin merubah skenario kehidupan ini. Aku hanya ingin merasakan apa yang ingin ku rasakan. Mendapatkan apa yang aku inginkan.

-Apa yang salah? Kenapa harus marah dengan skenario yang telah dibuat Tuhan?


Tuhan.... Kenapa aku yang harus menerima semua ini? Kenapa aku yang harus menderita? Tidakkah kau berikan saja kesedihan ini kepada orang lain diluar sana. Aku jenuh dengan kesedihanku. Hambar rasanya saat kesedihan ini terus melanda tanpa henti. Haruskah aku yang menerima ketidak sukaan hati? Tidakkah ada orang lain yang mungkin sering bahagia lalu merasakan sedih ini sesekali, Tuhan?

-Kenapa saat sedih harus bertanya “Kenapa aku?” kepada Tuhan? Apa saat senangpun bertanya “Kenapa aku?” pada Tuhan?


Aku lelah. Aku jenuh. Aku menyerah dengan rasa sedih. Aku ingin bahagia. Aku ingin tertawa. Tak lagi menangis. Aku ingin senang.... sepanjang hari. Sepanjang hayat. Tanpa henti. Tanpa celah. Bahkan aku rela jika bibir ini tak berhenti melengkung keatas dengan mantapnya. Aku hanya sudah merasa cukup dengan kesedihan sedu yang sudah pernah dan bahkan terlalu sering kurasakan. Bahkan rasanya, aku hampir merasa asing dengan ketidak hadiran kesedihan dihari-hariku.

-Kenapa merasa tak terima dengan rasa sedih? Bukankah senang dan sedih itu diciptakan satu paket?

Dentuman Hati Yang Tak Normal

0



Mengingatmu saja, sudah berhasil dengan mulus memporakporandakan hati ini... mengingat namamu, membayangkan wajahmu, mulai berlari-lari diotakku yang pada akhirnya berhasil berlari kehatiku. Dentuman-dentuman hati yang mulai tidak teratur, yang semakin berdegup saat bayanganmu semakin nyata. Hanya dengan mengingatmu, yang kemudian kunyatakan dalam hatiku, sudah berhasil membuatku memiliki degup jantung yang jauh dari batas normal.


Membayangkanmu selalu berhasil mengubah kebisingan sekitar menjadi sayupan melodi-melodi nyata diudara, dengan bayangmu melatari melodi bagaikan sebuah konser recital dialamku... disaat aku jenuh dan merasa sakit kepala dengan kebisingan disekitarku yang aku tak suka itu, aku hanya butuh melantunkan namamu dalam hati dan seketika aku melihat bayangmu. Bayangmu yang kemudian semakin nyata mulai melantunkan melodi-melodi indah khas bayangan dirimu dihatiku. Seketika, kebisingan yang tak kusuka, berubah bagaikan konser recital. Bagaikan dentingan-dentingan piano yang dimainkan dikonser recital dengan panggung megah yang dilatari bayanganmu. Indah.


Aku pernah jatuh cinta sebelum menjatuhkan cinta ini padamu. Tapi cinta yang berbeda. Cinta yang tanpa perjuangan berarti seperti ini... kau memang bukan cinta pertamaku. Tapi kau yang pertama kuperjuangkan. Sebelumnya, aku tidak pernah menerjang terjal untuk jatuh cinta. Aku hanya perlu menunggu cinta yang kemudian meluncur mulus dihadapku. Tapi kini, saat dimana aku menginginkanmu. Akulah yang justru harus meluncur hebat bebatuan nan berpasir untuk bertemumu disebrang yang juga kaulewati dengan gelap dan pijakan duri.


Karena pada nyatanya, cinta tak hanya membutuhkan ketulusan. Sudah takdir alam jika cintapun menuntut keadaan... aku dan kamu. Kita. Aku jatuh cinta padamu yang juga jatuh cinta padaku. Namun, pada nyatanya cinta tak sesimple saling jatuh cinta. Cintapun juga butuh sebuah ketulusan kuat bagaikan malaikat yang membutuhkan sayap untuk terbang menuju langit yang merupakan impiannya. Sejenak kemudian setelah kita mendapatkan cinta, kita kembali mendapatkan ketulusan yang kita yakini bersama. Aku hanya ingin dirimu yang juga berkata hanya inginkan diriku. Bahkan kita sudah berjanji akan bersama jika semua syarat sudah terpenuhi. Syarat yang kembali menjatuhkan harapan kita. Mematahkan sayap sang malaikat. Cinta. Ketulusan. Dan keadaan. Kita tak dapatkan keadaan. Keadaan tidak mendukung kita. Atau lebih tepatnya, belum. Dan kita, bersama, tetap menunggu saat dimana keadaan yang-merupakan-syarat-indah-terakhir-kita tiba.


Aku berhasil mengurungmu dihatiku tanpa memberimu celah sedikitpun untuk beranjak pergi... kita bersama telah berjanji untuk mengurung satu sama lain dihati masing-masing untuk menunggu happy ending kita yang telah dalam perjalanan menghampiri kita. Dan aku, dengan yakinnya, dengan tega tanpa ampun, mengurungmu kuat-kuat ditempatmu yang seharusnya. Dihatiku. Bahkan, dengan kejamnya, aku akan tetap mengurungmu dibenteng pertahanan hatiku walaupan happy ending kita telah tiba. Aku tidak akan segan mempertahankanmu untuk tetap dihatiku. Bahkan aku rela jika setiap hari aku harus memperkokoh bentengku dengan kepadatan super untuk membuatmu tetap disini. Aku bisa. Selamanya. Lantas, mampukah kamu mengurungku? Ah, tanpa kau kurung akupun, aku tidak akan mau keluar dari gubukmu. Biarpun mungkin gubukmu tak sekokoh bentengku untuk mengurungku, aku tetap akan disana. Terkecuali kau mengusirku, dan mendatangkan seorang malaikat lain yang menolongmu untuk lepas dari bentengku.

Menyerah? Bertahan? Berjuang?

0


            Sudah jelas bukan, bahwa Tuhan tidak akan menguji hambanya dengan apa yang hambanya tak mampu selesaikan? Lantas, apa semua yang telah terjadi dan telah kita perjuangkan tanpa henti masih bisa dibilang ujian-Nya? Tidakkah ini takdir dari skenario yang telah dibuat-Nya? Tidakkah berpikir realistis bahwa selama ini kita hanya mencoba naif pada kenyataan? Haruskah kita menyerah dan mencoba realistis dengan apa yang telah tertera dijalan takdir kita masing-masing? Tidakkah kita mengaku lelah dengan perjuangan yang tak berujung ini? Bukankah kita sudah sama-sama lelah mencoba merubah apa yang terjadi pada kita? Dan apakah sejauh perjuangan kita ini ada suatu hal yang berubah meskipun sedikit demi sedikit? Tidak, bukan? Lantas apa yang kita tunggu untuk berhenti bertahan? Apakah hanya bertahan bisa membuat kita hidup bersama? Bahagia? Tanpa menyelesaikan segala penghalang yang ada, akankah hubungan ini menjadi nyata? Lalu, apakah yang harus kita lakukan lagi? Haruskah kita menyerah? Haruskah kita hanya bertahan dan berdiam diri? Haruskah kita mencoba dan terus mencoba melawan semua yang ada?

Bongkahan Hidupku Nyaris Menyublim

0



             Aku sudah terlalu terbiasa berbagi masalahku denganmu. Menceritakan segalanya kepadamu. Memang hanya kamulah yang selalu ada disaat ku butuh. Disaat aku ingin dan merasa butuh mencurahkan isi hatiku, masalahku, tidak lain dan tidak bukan, memang hanya namamu yang seketika terpampang diotakku untukku bagi cerita-ceritaku. Aku sudah terlampau nyaman dengan kebiasaanku bercerita denganmu. Ah, rasa percaya dan rasa nyaman ini sudah terlampau jauh melewati batas yang pernah ku tujukan padamu yang namun kini telah ku abaikan. Namun kini, masalah  datang padaku, masalah yang pada nyatanya tidak terlalu besar. Rasanya hanya dengan bercerita dengan orang lain, aku bisa menyelesaikannya. Tapi seketika, saat dimana aku menyadari bahwa masalah ini tak semudah yang kubayangkan, yaitu saat dimana aku sadar, masalah kecil ini menyangkut dirimu. Dirimu yang tak mungkin kubagi cerita ini. Dirimulah masalahku. Seketika, masalah ini terasa begitu besar dan berat. Aku butuh berbagi masalah ini. Padamu. Hanya kamu. Tapi itulah satu masalah besar yang timbul dari masalah ini.... Bagaimana aku bisa merasa butuh berbagi masalah kepadamu saat masalah itu adalah kamu...
Setiap masalah yang mendera ku, aku hanya butuh kamu. Tidak, tidak, aku mungkin memang butuh solusi yang mungkin bisa membantuku, tapi rasanya dan memang mutlaknya, aku jauh lebih membutuhkan kehadiranmu dengan kata-kata penegar ajaibmu yang tertuju padaku. Kata-kata penyemangat yang telah kau racik sedemikian rupa hingga menyentuh dalam dihatiku. Tapi seketika aku sadar kembali keduniaku. Aku tak bisa mendapatkan penegar darimu dalam masalahku yang sekarang. Karena masalahku mengharuskanku menjauhimu. Jelas tidak mungkin aku mendapat kata-kata ramuanmu jika aku harus menjauhimu. Masalah yang cukup besar untukku. Saat dimana aku membutuhkanmu, namun aku justru harus menjauhimu. Memikirkannya saja sudah terasa amat rumit. Rasanya aku tidak ingin memikirkannya. Tapi kenyataan berkata lain, memang aku tidak diharuskan untuk memikirkan ini, tapi lebih tepatnya diharuskan melewati ini. Rumit... Bagaimana aku bisa merasa tegar dengan masalah yang mengharuskanku hilang dari peredaranmu saat penegarku adalah kata semangat darimu...

Kau tau? Sudah cukup lama aku berada disisimu. Bahkan, aku merasa menghubungi dan dihubungi olehmu adalah suatu rutinitas yang memang wajib disetiap hari-hariku. Rutinitas yang mewajibkanku untuk tetap disisimu. Rutinitas yang membuat segalanya berubah menjadi lebih indah. Satu-satunya rutinitas yang kuyakinkan aku tidak akan merasa bosan dengan ini. Aku menikmati rutinitas baruku. Sangat amat menikmati. Kewajiban baru dihari-hariku, tidak menjadi beban dihidupku. Bahkan aku merasa lengkap dengan hari-hariku disisimu. Bayangkan saja, jika dimana kewajibanku adalah memenuhi rutinitas dan rutinitasku adalah berada disisimu, dan saat itu pula suatu kewajiban lain mewajibkanku untuk pergi dari sisimu. Kewajiban lain dari pihak lain yang kembali memasuki rutinitas baru dengan mencoba mengganti rutinitasku yang telah kunyamani ini dengan sesuatu yang terkesan wajib kujalani pula. Padahal, aku sudah nyaman dengan rutinitasku kini... Bagaimana aku bisa memenuhi suatu hal yang terdegar wajib untuk menjauhimu disaat aku merasa kewajibbanku adalah berada disisimu...

Rutinitas yang ditawarkan kewajiban lain mengambung-ambungkan suatu janji kehidupan yang lebih baik untukku. Dengan rutinitas baruku, dengan kewajiban baruku, dengan ketidak hadiranmu. Menawarkanku suatu kehidupan yang lebih baik yang akan kuhadapi. Kamu dihidupku adalah pelengkap yang tidak boleh tertinggal. Akankah akan terasa lebih nyaman jika pelengkap itu tak ikut serta lagi dalam hidupku. Aku yakin segalanya akan berbeda. Bahkan aku meyakini semuanya justru tidak akan lebih baik tanpa pelengkapku. Hanya saja kewajiban baruku terus menerus memaksa dan mengambung-ambung impianku. Padahal, dengan adanya pelengkapku saja sudah berhasil memperindah hari-hariku. Apa lagi yang harus kuperindah dan ku perbaiki... Bagaimana aku bisa merasa hidup lebih baik dengan ketidakadaan dirimu sedangkan pelengkap hidupku adalah sosokmu...

Kesedihan Mencoba Merapuhkan

1



Tuhan... kau tidak adil. Kau selalu memberiku rasa sedih dan sakit hati ini. Aku lelah Tuhan... rasanya aku ingin marah dengan apa yang terjadi dihidupku. Tapi aku tau, aku tak punya hak untuk itu. Aku lelah Tuhan... lelah dengan apa yang telah kuterima. Aku lelah dengan skenario ini. Aku bahkan tidak merasa aku kuat menghabiskan cerita ini hingga ending yang entah bagaimana akan tiba. Ah, aku hanya ingin merubah skenario kehidupan ini. Aku hanya ingin merasakan apa yang ingin ku rasakan. Mendapatkan apa yang aku inginkan.

-Apa yang salah? Kenapa harus marah dengan skenario yang telah dibuat Tuhan?


Tuhan.... Kenapa aku yang harus menerima semua ini? Kenapa aku yang harus menderita? Tidakkah kau berikan saja kesedihan ini kepada orang lain diluar sana. Aku jenuh dengan kesedihanku. Hambar rasanya saat kesedihan ini terus melanda tanpa henti. Haruskah aku yang menerima ketidak sukaan hati? Tidakkah ada orang lain yang mungkin sering bahagia lalu merasakan sedih ini sesekali, Tuhan?

-Kenapa saat sedih harus bertanya “Kenapa aku?” kepada Tuhan? Apa saat senangpun bertanya “Kenapa aku?” pada Tuhan?


Aku lelah. Aku jenuh. Aku menyerah dengan rasa sedih. Aku ingin bahagia. Aku ingin tertawa. Tak lagi menangis. Aku ingin senang.... sepanjang hari. Sepanjang hayat. Tanpa henti. Tanpa celah. Bahkan aku rela jika bibir ini tak berhenti melengkung keatas dengan mantapnya. Aku hanya sudah merasa cukup dengan kesedihan sedu yang sudah pernah dan bahkan terlalu sering kurasakan. Bahkan rasanya, aku hampir merasa asing dengan ketidak hadiran kesedihan dihari-hariku.

-Kenapa merasa tak terima dengan rasa sedih? Bukankah senang dan sedih itu diciptakan satu paket?