Pages

Wednesday, November 30, 2011

Ketika Aku Harus Memilih... (1)



Hari ini aku berada di sebuah Pengadilan Negeri dimana kedua orang tuaku sedang melaksanakan sidang perceraian.  Aku cukup terpukul dengan keputusan Bunda dan Ayah. Aku menyesal karena aku anak tunggal dari mereka, harusnya aku menjadi alasan mereka tidak jadi bercerai. Tapi aku tidak bisa menahan mereka agar tidak bercerai dan aku dijadikan bahan rebutan mereka karena perceraian ini.
        Cukup lama menunggu sidang kutukan itu selesai. Akhirnya hari ini Bunda dan Ayah resmi bercerai. Aku berniat untuk ikut dengan Ayah dan meninggalkan Bunda yang padahal adalah orang terdekatku selama ini. Aku melakukan itu karena aku tau, Bundalah yang salah dan memulai kehancuran diantara keluarga kami. Hingga Bunda dan Ayah berakhir pada perceraian.
        Beberapa bulan yang lalu, Bunda menghadiri reuni SMAnya. Bunda memang sudah izin kepada Ayah untuk menghadiri acara itu. Tapi tentu Ayah tidak tau bahwa Bunda tidak pulang tepat waktu seperti janjinya pada Ayah. Aku sendiri jelas tau hal itu, karena akulah yang membukakan pintu untuk Bunda saat itu. Bodohnya aku, aku tidak memberi tau kepada Ayah tentang ketelatan Bunda saat pulang malam itu.
        Sejak reuni itu, Bunda sering sekali memegang handphonenya. Padahal, selama ini Bunda sering mengabaikan handphonenya. Saat itu aku tidak curiga apapun, kufikir mungkin saja Bunda memang sedang memiliki suatu urusan. Tapi mungkin Ayah akan curiga jika saja Bunda tidak pintar memilah waktu yang tepat untuk memegang handphonenya. Bunda selalu memegang handphonenya saat Ayah berangkat bekerja, hingga sebelum Ayah pulang bekerja. Begitu seterusnya. Sehingga Ayah tidak melihat Bunda terus-terusan memegang handphonenya.
        Hari itu, mungkin Bunda lupa atau memang tidak sabar untuk mengecek handphonenya. Memang Ayah sedang libur dan tidak pergi kerja. Akhirnya ia mulai memainkan handphone didepan Ayah bahkan mengobrol dengan Ayah. Ayah sangat tidak suka jika ia sedang bicara, lalu sang lawan bicaranya justru berselingkuh bicara dengan handphone. Apalagi saat itu Ayah sedang berbicara dengan Bunda.
Ayah juga seorang pencuriga yang over. Sehingga Ayah mulai curiga dengan Bunda yang hari itu hampir tidak pernah lepas dengan handphonenya. Akhirnya malam itu juga, saat Bunda tertidur Ayah mencoba mencari handphone Bunda yang akhirnya ia temukan dibawah tempat lampu yang sangat tidak memungkinkan seseorang untuk meletakan handphone disana. Hingga bertambah besarlah kecurigaan Ayah kepada Bunda.
        Pagi harinya, aku terbangun karena teriakan Ayah dari luar pintu kamarku yang mengarah ruang keluarga. Tidak jelas apa yang diucapkannya tapi aku tau itu suara Ayah. Aku sempat ingin keluar dan marah pada Ayah karena telah membangunkanku dihari libur. Tapi saat aku mulai mendekati pintu kamarku, aku mengurungkan niatku dan berniat mendengarkan dan menduga-duga apa yang terjadi diluar kamarku. Ku dengar Bunda menangis. Aku mulai berfikir bahwa mereka bertengkar. Tapi sebelumnya mereka tidak pernah bertengkar atau lebih tepatnya tidak pernah separah saat itu. Selalu menjaga keharmonisan keluarga kami didepanku. Tapi justru kali itu mereka bertengkar didepan kamarku yang tentu saja aku bisa mendengarnya.
        Aku mendengar Ayah menceritakan kepada Bunda tentang apa yang ia baca di handphone Bunda malam itu. Aku mendengar secara detailnya apa yang dibaca Ayah dan apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu aku berharap Ayah salah. Namun ternyata harapankulah yang salah. Bunda memperkuat kata-kata Ayah dengan pengakuannya sambil menangis, bahwa ia memang berselingkuh dengan mantan kekasihnya selagi SMA. Mereka kembali bertemu saat reuni SMAnya kemarin.
Kakiku melemas saat itu, namun aku masih ingin mendengar lelucon ini berakhir dan mendengar mereka mengaku bahwa semua pembicaraan ini hanya untuk mengerjaiku. Tapi aku yakin aku salah dan mulai gila jika tetap berharap seperti itu. Karena saat semakin kudekatkankan telingaku dengan daun pintu, Bunda berkata ia lebih merasa nyaman berhubungan dengan mantan kekasihnya yang lebih mapan dibanding Ayah.
Aku menangis dari balik pintu kamarku. Darahku berdesir hebat menandakan kekecewaanku saat itu. Aku mengakhiri pendengaranku didaun pintu dan kembali ke tempat tidurku dengan mata masih berlinang air mata. Cukup lama aku menangis dengan bantal diwajahku agar tangisanku tidak sampai keluar kamar. Walaupun aku tau, teriakan Ayah mengalahkan suara tangisanku. Hingga akhirnya aku tidak mendengar teriakan-teriakan itu lagi dan aku tertidur karena lelah menangis.
Sore itu juga, Bunda mengetuk pintu kamarku dan mengajakku keruang keluarga. Saat diruang keluarga, aku lihat sudah ada Ayah dangan wajah yang menurutku seperti wajah orang yang sudah putus asa dan pasrah akan keadaan. Disana, Bunda dan Ayah menceritakan kepadaku tentang apa yang terjadi. Bunda meminta maaf kepada kami, namun tetap tidak ingin memperbaiki kesalahannya. Tentu saja aku tidak bisa membendung air mataku. Walaupun sebenarnya aku sudah cukup tau semuanya dari pertengkaran hebat mereka pagi itu.
Mulai saat itu, Bunda pindah kerumah Nenek dikota lain tempat kami tinggal. Lalu sebulan kemudian, Bunda mengajukan surat perceraian kepada Ayah. Aku tau sebenarnya ada rasa tak ikhlas dihati Ayah. Namun ia tetap tegar dan menandatangani surat perceraian itu. Mungkin karena agar orang yang ia cintai lebih bahagia, walaupun itu memang harus membuatnya terluka.
        Sejak itu, aku dan Ayah sudah tidak pernah bertemu kembali dengan Bunda. Kami kembali bertemu di Pengadilan Negeri hari ini dalam sidang perceraian Ayah dan Bundaku. Kami tidak lagi bertemu karena kini Bunda tidak lagi tinggal bersama aku dan Ayah. Mungkin ia segara menikah dengan lelaki itu. Aku tak tau dan tak ingin tau lagi hal apapun tentang Bunda. Tentu aku akan tetap sayang dengan Bundaku, namun dengan cara yang sedikit berbeda.
...........

0 komentar:

Post a Comment

Ketika Aku Harus Memilih... (1)



Hari ini aku berada di sebuah Pengadilan Negeri dimana kedua orang tuaku sedang melaksanakan sidang perceraian.  Aku cukup terpukul dengan keputusan Bunda dan Ayah. Aku menyesal karena aku anak tunggal dari mereka, harusnya aku menjadi alasan mereka tidak jadi bercerai. Tapi aku tidak bisa menahan mereka agar tidak bercerai dan aku dijadikan bahan rebutan mereka karena perceraian ini.
        Cukup lama menunggu sidang kutukan itu selesai. Akhirnya hari ini Bunda dan Ayah resmi bercerai. Aku berniat untuk ikut dengan Ayah dan meninggalkan Bunda yang padahal adalah orang terdekatku selama ini. Aku melakukan itu karena aku tau, Bundalah yang salah dan memulai kehancuran diantara keluarga kami. Hingga Bunda dan Ayah berakhir pada perceraian.
        Beberapa bulan yang lalu, Bunda menghadiri reuni SMAnya. Bunda memang sudah izin kepada Ayah untuk menghadiri acara itu. Tapi tentu Ayah tidak tau bahwa Bunda tidak pulang tepat waktu seperti janjinya pada Ayah. Aku sendiri jelas tau hal itu, karena akulah yang membukakan pintu untuk Bunda saat itu. Bodohnya aku, aku tidak memberi tau kepada Ayah tentang ketelatan Bunda saat pulang malam itu.
        Sejak reuni itu, Bunda sering sekali memegang handphonenya. Padahal, selama ini Bunda sering mengabaikan handphonenya. Saat itu aku tidak curiga apapun, kufikir mungkin saja Bunda memang sedang memiliki suatu urusan. Tapi mungkin Ayah akan curiga jika saja Bunda tidak pintar memilah waktu yang tepat untuk memegang handphonenya. Bunda selalu memegang handphonenya saat Ayah berangkat bekerja, hingga sebelum Ayah pulang bekerja. Begitu seterusnya. Sehingga Ayah tidak melihat Bunda terus-terusan memegang handphonenya.
        Hari itu, mungkin Bunda lupa atau memang tidak sabar untuk mengecek handphonenya. Memang Ayah sedang libur dan tidak pergi kerja. Akhirnya ia mulai memainkan handphone didepan Ayah bahkan mengobrol dengan Ayah. Ayah sangat tidak suka jika ia sedang bicara, lalu sang lawan bicaranya justru berselingkuh bicara dengan handphone. Apalagi saat itu Ayah sedang berbicara dengan Bunda.
Ayah juga seorang pencuriga yang over. Sehingga Ayah mulai curiga dengan Bunda yang hari itu hampir tidak pernah lepas dengan handphonenya. Akhirnya malam itu juga, saat Bunda tertidur Ayah mencoba mencari handphone Bunda yang akhirnya ia temukan dibawah tempat lampu yang sangat tidak memungkinkan seseorang untuk meletakan handphone disana. Hingga bertambah besarlah kecurigaan Ayah kepada Bunda.
        Pagi harinya, aku terbangun karena teriakan Ayah dari luar pintu kamarku yang mengarah ruang keluarga. Tidak jelas apa yang diucapkannya tapi aku tau itu suara Ayah. Aku sempat ingin keluar dan marah pada Ayah karena telah membangunkanku dihari libur. Tapi saat aku mulai mendekati pintu kamarku, aku mengurungkan niatku dan berniat mendengarkan dan menduga-duga apa yang terjadi diluar kamarku. Ku dengar Bunda menangis. Aku mulai berfikir bahwa mereka bertengkar. Tapi sebelumnya mereka tidak pernah bertengkar atau lebih tepatnya tidak pernah separah saat itu. Selalu menjaga keharmonisan keluarga kami didepanku. Tapi justru kali itu mereka bertengkar didepan kamarku yang tentu saja aku bisa mendengarnya.
        Aku mendengar Ayah menceritakan kepada Bunda tentang apa yang ia baca di handphone Bunda malam itu. Aku mendengar secara detailnya apa yang dibaca Ayah dan apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu aku berharap Ayah salah. Namun ternyata harapankulah yang salah. Bunda memperkuat kata-kata Ayah dengan pengakuannya sambil menangis, bahwa ia memang berselingkuh dengan mantan kekasihnya selagi SMA. Mereka kembali bertemu saat reuni SMAnya kemarin.
Kakiku melemas saat itu, namun aku masih ingin mendengar lelucon ini berakhir dan mendengar mereka mengaku bahwa semua pembicaraan ini hanya untuk mengerjaiku. Tapi aku yakin aku salah dan mulai gila jika tetap berharap seperti itu. Karena saat semakin kudekatkankan telingaku dengan daun pintu, Bunda berkata ia lebih merasa nyaman berhubungan dengan mantan kekasihnya yang lebih mapan dibanding Ayah.
Aku menangis dari balik pintu kamarku. Darahku berdesir hebat menandakan kekecewaanku saat itu. Aku mengakhiri pendengaranku didaun pintu dan kembali ke tempat tidurku dengan mata masih berlinang air mata. Cukup lama aku menangis dengan bantal diwajahku agar tangisanku tidak sampai keluar kamar. Walaupun aku tau, teriakan Ayah mengalahkan suara tangisanku. Hingga akhirnya aku tidak mendengar teriakan-teriakan itu lagi dan aku tertidur karena lelah menangis.
Sore itu juga, Bunda mengetuk pintu kamarku dan mengajakku keruang keluarga. Saat diruang keluarga, aku lihat sudah ada Ayah dangan wajah yang menurutku seperti wajah orang yang sudah putus asa dan pasrah akan keadaan. Disana, Bunda dan Ayah menceritakan kepadaku tentang apa yang terjadi. Bunda meminta maaf kepada kami, namun tetap tidak ingin memperbaiki kesalahannya. Tentu saja aku tidak bisa membendung air mataku. Walaupun sebenarnya aku sudah cukup tau semuanya dari pertengkaran hebat mereka pagi itu.
Mulai saat itu, Bunda pindah kerumah Nenek dikota lain tempat kami tinggal. Lalu sebulan kemudian, Bunda mengajukan surat perceraian kepada Ayah. Aku tau sebenarnya ada rasa tak ikhlas dihati Ayah. Namun ia tetap tegar dan menandatangani surat perceraian itu. Mungkin karena agar orang yang ia cintai lebih bahagia, walaupun itu memang harus membuatnya terluka.
        Sejak itu, aku dan Ayah sudah tidak pernah bertemu kembali dengan Bunda. Kami kembali bertemu di Pengadilan Negeri hari ini dalam sidang perceraian Ayah dan Bundaku. Kami tidak lagi bertemu karena kini Bunda tidak lagi tinggal bersama aku dan Ayah. Mungkin ia segara menikah dengan lelaki itu. Aku tak tau dan tak ingin tau lagi hal apapun tentang Bunda. Tentu aku akan tetap sayang dengan Bundaku, namun dengan cara yang sedikit berbeda.
...........

0 comments:

Post a Comment