Hari ini aku berada di sebuah Pengadilan Negeri
dimana kedua orang tuaku sedang melaksanakan sidang perceraian. Aku cukup terpukul dengan keputusan Bunda dan Ayah.
Aku menyesal karena aku anak tunggal dari mereka, harusnya aku menjadi alasan
mereka tidak jadi bercerai. Tapi aku tidak bisa menahan mereka agar tidak
bercerai dan aku dijadikan bahan rebutan mereka karena perceraian ini.
Cukup
lama menunggu sidang kutukan itu selesai. Akhirnya hari ini Bunda dan Ayah
resmi bercerai. Aku berniat untuk ikut dengan Ayah dan meninggalkan Bunda yang
padahal adalah orang terdekatku selama ini. Aku melakukan itu karena aku tau,
Bundalah yang salah dan memulai kehancuran diantara keluarga kami. Hingga Bunda
dan Ayah berakhir pada perceraian.
Beberapa
bulan yang lalu, Bunda menghadiri reuni SMAnya. Bunda memang sudah izin kepada
Ayah untuk menghadiri acara itu. Tapi tentu Ayah tidak tau bahwa Bunda tidak
pulang tepat waktu seperti janjinya pada Ayah. Aku sendiri jelas tau hal itu,
karena akulah yang membukakan pintu untuk Bunda saat itu. Bodohnya aku, aku
tidak memberi tau kepada Ayah tentang ketelatan Bunda saat pulang malam itu.
Sejak
reuni itu, Bunda sering sekali memegang handphonenya. Padahal, selama ini Bunda
sering mengabaikan handphonenya. Saat itu aku tidak curiga apapun, kufikir
mungkin saja Bunda memang sedang memiliki suatu urusan. Tapi mungkin Ayah akan
curiga jika saja Bunda tidak pintar memilah waktu yang tepat untuk memegang
handphonenya. Bunda selalu memegang handphonenya saat Ayah berangkat bekerja,
hingga sebelum Ayah pulang bekerja. Begitu seterusnya. Sehingga Ayah tidak
melihat Bunda terus-terusan memegang handphonenya.
Hari
itu, mungkin Bunda lupa atau memang tidak sabar untuk mengecek handphonenya.
Memang Ayah sedang libur dan tidak pergi kerja. Akhirnya ia mulai memainkan
handphone didepan Ayah bahkan mengobrol dengan Ayah. Ayah sangat tidak suka
jika ia sedang bicara, lalu sang lawan bicaranya justru berselingkuh bicara
dengan handphone. Apalagi saat itu Ayah sedang berbicara dengan Bunda.
Ayah juga seorang pencuriga yang over. Sehingga Ayah
mulai curiga dengan Bunda yang hari itu hampir tidak pernah lepas dengan
handphonenya. Akhirnya malam itu juga, saat Bunda tertidur Ayah mencoba mencari
handphone Bunda yang akhirnya ia temukan dibawah tempat lampu yang sangat tidak
memungkinkan seseorang untuk meletakan handphone disana. Hingga bertambah
besarlah kecurigaan Ayah kepada Bunda.
Pagi
harinya, aku terbangun karena teriakan Ayah dari luar pintu kamarku yang
mengarah ruang keluarga. Tidak jelas apa yang diucapkannya tapi aku tau itu
suara Ayah. Aku sempat ingin keluar dan marah pada Ayah karena telah
membangunkanku dihari libur. Tapi saat aku mulai mendekati pintu kamarku, aku
mengurungkan niatku dan berniat mendengarkan dan menduga-duga apa yang terjadi
diluar kamarku. Ku dengar Bunda menangis. Aku mulai berfikir bahwa mereka
bertengkar. Tapi sebelumnya mereka tidak pernah bertengkar atau lebih tepatnya
tidak pernah separah saat itu. Selalu menjaga keharmonisan keluarga kami
didepanku. Tapi justru kali itu mereka bertengkar didepan kamarku yang tentu
saja aku bisa mendengarnya.
Aku
mendengar Ayah menceritakan kepada Bunda tentang apa yang ia baca di handphone
Bunda malam itu. Aku mendengar secara detailnya apa yang dibaca Ayah dan apa
yang sebenarnya terjadi. Saat itu aku berharap Ayah salah. Namun ternyata
harapankulah yang salah. Bunda memperkuat kata-kata Ayah dengan pengakuannya
sambil menangis, bahwa ia memang berselingkuh dengan mantan kekasihnya selagi
SMA. Mereka kembali bertemu saat reuni SMAnya kemarin.
Kakiku melemas saat itu, namun aku masih ingin
mendengar lelucon ini berakhir dan mendengar mereka mengaku bahwa semua
pembicaraan ini hanya untuk mengerjaiku. Tapi aku yakin aku salah dan mulai
gila jika tetap berharap seperti itu. Karena saat semakin kudekatkankan
telingaku dengan daun pintu, Bunda berkata ia lebih merasa nyaman berhubungan
dengan mantan kekasihnya yang lebih mapan dibanding Ayah.
Aku menangis dari balik pintu kamarku. Darahku
berdesir hebat menandakan kekecewaanku saat itu. Aku mengakhiri pendengaranku
didaun pintu dan kembali ke tempat tidurku dengan mata masih berlinang air
mata. Cukup lama aku menangis dengan bantal diwajahku agar tangisanku tidak
sampai keluar kamar. Walaupun aku tau, teriakan Ayah mengalahkan suara
tangisanku. Hingga akhirnya aku tidak mendengar teriakan-teriakan itu lagi dan
aku tertidur karena lelah menangis.
Sore itu juga, Bunda mengetuk pintu kamarku dan
mengajakku keruang keluarga. Saat diruang keluarga, aku lihat sudah ada Ayah
dangan wajah yang menurutku seperti wajah orang yang sudah putus asa dan pasrah
akan keadaan. Disana, Bunda dan Ayah menceritakan kepadaku tentang apa yang
terjadi. Bunda meminta maaf kepada kami, namun tetap tidak ingin memperbaiki
kesalahannya. Tentu saja aku tidak bisa membendung air mataku. Walaupun
sebenarnya aku sudah cukup tau semuanya dari pertengkaran hebat mereka pagi
itu.
Mulai saat itu, Bunda pindah kerumah Nenek dikota
lain tempat kami tinggal. Lalu sebulan kemudian, Bunda mengajukan surat
perceraian kepada Ayah. Aku tau sebenarnya ada rasa tak ikhlas dihati Ayah.
Namun ia tetap tegar dan menandatangani surat perceraian itu. Mungkin karena
agar orang yang ia cintai lebih bahagia, walaupun itu memang harus membuatnya
terluka.
Sejak
itu, aku dan Ayah sudah tidak pernah bertemu kembali dengan Bunda. Kami kembali
bertemu di Pengadilan Negeri hari ini dalam sidang perceraian Ayah dan Bundaku.
Kami tidak lagi bertemu karena kini Bunda tidak lagi tinggal bersama aku dan
Ayah. Mungkin ia segara menikah dengan lelaki itu. Aku tak tau dan tak ingin
tau lagi hal apapun tentang Bunda. Tentu aku akan tetap sayang dengan Bundaku, namun
dengan cara yang sedikit berbeda.
...........
0 komentar:
Post a Comment