Pages

Wednesday, November 30, 2011

Ketika Aku Harus Memilih... (2)


        Sejak itu, aku dan Ayah sudah tidak pernah bertemu kembali dengan Bunda. Kami kembali bertemu di Pengadilan Negeri hari ini dalam sidang perceraian Ayah dan Bundaku. Kami tidak lagi bertemu karena kini Bunda tidak lagi tinggal bersama aku dan Ayah. Mungkin ia segara menikah dengan lelaki itu. Aku tak tau dan tak ingin tau lagi hal apapun tentang Bunda. Tentu aku akan tetap sayang dengan Bundaku, namun dengan cara yang sedikit berbeda.
****
        Enam bulan sudah berlalu setelah perceraian Ayah dan Bunda. Bunda sudah menikah dengan lelaki itu dua bulan sesudah bercerai dengan Ayah. Sedangkan Ayah juga sudah menikah dengan seorang wanita, empat bulan setelah perceraiannya. Waktu yang cepat untuk keduanya, terutama Ayah untuk melupakan Bunda yang padahal seharusnya susah untuk ia lupakan. Tapi memang, Ayah menikah dengan wanita itu karena aku. Akulah yang meminta untuk Ayah menikah lagi. Namun justru permintaankulah yang membawaku ke atas gedung ini. Ingin mengakhiri hidupku. Karena permintaan bodohku dua bulan yang lalu.
        Aku tau memang aku yang meminta dan memaksa Ayah untuk menikah lagi. Namun tidak maksudku mengizinkan Ayah menikah dengan sembarang wanita. Termasuk dengan rekan kerjanya yang berbeda keyakinan dengan kami. Aku tidak ingin Ayah menikah dengannya.
        Kini Ayah ingin berpindah keyakinan seperti apa yang diyakini oleh wanita yang kini menjadi istrinya. Sedangkan aku jelas tidak mau. Namun aku tidak diizinkan dan juga tidak bisa hidup ditengah keluarga yang berbeda keyakinan olehku. Aku juga tidak bisa membayangkan akan jadi apa keluargaku.
        Kukira kesedihanku akan perselingkuhan Bunda, akan diakhiri oleh datangnya wanita itu. Tapi justru wanita itulah yang membuatku ingin mengakhiri hidupku. Bagaimana tidak, jika Ayah tetap ingin memaksaku untuk mengikuti keyakinan mereka, maka aku akan mengakhiri hidupku. Bahkan akupun sama sekali tidak ingin berlindung pada Bunda. Sudah cukup Bunda bersalah, dan tak adil rasanya jika aku pergi dari Ayahku dan berlindung pada Bunda yang telah mengawali kesedihan dalam hidupku.
        Mungkin kejadian ini memang cobaan dari Tuhan untukku. Maaf Tuhan, aku tak sanggup untuk menjalani hidupku. Mungkin Tuhan tidak akan memberi ujian pada hambanya yang tak mampu. Namun aku tidak ingin berusaha untuk mampu melewati cobaan ini. Aku sudah cukup lelah dengan hidupku.
        Kumatangkan keberanianku. Aku membayangkan satu per satu wajah orang-orang yang membuat hidupku berbeda. Ayah, Bunda, lelaki itu, dan juga wanita itu. Ku abaikan teriakan orang-orang dibawah sana. Aku tidak menghiraukannya walaupun aku tau jelas apa yang mereka teriakan kepadaku. Kupejamkan mataku yang terus menerus mengeluarkan air mata. Kusempatkan diri untuk menengok kebelakang, ada Ayah yang baru saja berhasil naik ke ujung atas gedung ini ingin menghampiriku. Tanpa menunggu Ayah berhasil meraihku, langsung saja kuhempaskan tubuhku membelah udara menuju daratan keras dibawah sana.
        Kurasakan aku terus menerus membelah udara. Hingga akhirnya tiba pada sesuatu yang terbuat dari bahan keras yang menahanku dan tak bisa kubelah dengan tubuhku seperti udara sebelumnya. Cairan hangat menyelimuti tubuhku, yang aku tak tau jelas apa itu. Sekejap saja kurasakan aku mulai menuju udara kembali. Kuberanikan diri untuk membuka mata dan benar saja aku mulai terbang menuju langit meninggalkan jasadku yang sedang dikelilingi banyak orang yang aku tak tau siapa mereka. Kuperhatikan jasadku sepanjang perjalananku menuju langit, hanya cairan berwarna merah yang menghiasi jasadku dan kekecewaan diwajahku. Kini semua beban hidupku sudah terangkat terbang bersamaan dengan nyawaku.
*****

0 komentar:

Post a Comment

Ketika Aku Harus Memilih... (2)


        Sejak itu, aku dan Ayah sudah tidak pernah bertemu kembali dengan Bunda. Kami kembali bertemu di Pengadilan Negeri hari ini dalam sidang perceraian Ayah dan Bundaku. Kami tidak lagi bertemu karena kini Bunda tidak lagi tinggal bersama aku dan Ayah. Mungkin ia segara menikah dengan lelaki itu. Aku tak tau dan tak ingin tau lagi hal apapun tentang Bunda. Tentu aku akan tetap sayang dengan Bundaku, namun dengan cara yang sedikit berbeda.
****
        Enam bulan sudah berlalu setelah perceraian Ayah dan Bunda. Bunda sudah menikah dengan lelaki itu dua bulan sesudah bercerai dengan Ayah. Sedangkan Ayah juga sudah menikah dengan seorang wanita, empat bulan setelah perceraiannya. Waktu yang cepat untuk keduanya, terutama Ayah untuk melupakan Bunda yang padahal seharusnya susah untuk ia lupakan. Tapi memang, Ayah menikah dengan wanita itu karena aku. Akulah yang meminta untuk Ayah menikah lagi. Namun justru permintaankulah yang membawaku ke atas gedung ini. Ingin mengakhiri hidupku. Karena permintaan bodohku dua bulan yang lalu.
        Aku tau memang aku yang meminta dan memaksa Ayah untuk menikah lagi. Namun tidak maksudku mengizinkan Ayah menikah dengan sembarang wanita. Termasuk dengan rekan kerjanya yang berbeda keyakinan dengan kami. Aku tidak ingin Ayah menikah dengannya.
        Kini Ayah ingin berpindah keyakinan seperti apa yang diyakini oleh wanita yang kini menjadi istrinya. Sedangkan aku jelas tidak mau. Namun aku tidak diizinkan dan juga tidak bisa hidup ditengah keluarga yang berbeda keyakinan olehku. Aku juga tidak bisa membayangkan akan jadi apa keluargaku.
        Kukira kesedihanku akan perselingkuhan Bunda, akan diakhiri oleh datangnya wanita itu. Tapi justru wanita itulah yang membuatku ingin mengakhiri hidupku. Bagaimana tidak, jika Ayah tetap ingin memaksaku untuk mengikuti keyakinan mereka, maka aku akan mengakhiri hidupku. Bahkan akupun sama sekali tidak ingin berlindung pada Bunda. Sudah cukup Bunda bersalah, dan tak adil rasanya jika aku pergi dari Ayahku dan berlindung pada Bunda yang telah mengawali kesedihan dalam hidupku.
        Mungkin kejadian ini memang cobaan dari Tuhan untukku. Maaf Tuhan, aku tak sanggup untuk menjalani hidupku. Mungkin Tuhan tidak akan memberi ujian pada hambanya yang tak mampu. Namun aku tidak ingin berusaha untuk mampu melewati cobaan ini. Aku sudah cukup lelah dengan hidupku.
        Kumatangkan keberanianku. Aku membayangkan satu per satu wajah orang-orang yang membuat hidupku berbeda. Ayah, Bunda, lelaki itu, dan juga wanita itu. Ku abaikan teriakan orang-orang dibawah sana. Aku tidak menghiraukannya walaupun aku tau jelas apa yang mereka teriakan kepadaku. Kupejamkan mataku yang terus menerus mengeluarkan air mata. Kusempatkan diri untuk menengok kebelakang, ada Ayah yang baru saja berhasil naik ke ujung atas gedung ini ingin menghampiriku. Tanpa menunggu Ayah berhasil meraihku, langsung saja kuhempaskan tubuhku membelah udara menuju daratan keras dibawah sana.
        Kurasakan aku terus menerus membelah udara. Hingga akhirnya tiba pada sesuatu yang terbuat dari bahan keras yang menahanku dan tak bisa kubelah dengan tubuhku seperti udara sebelumnya. Cairan hangat menyelimuti tubuhku, yang aku tak tau jelas apa itu. Sekejap saja kurasakan aku mulai menuju udara kembali. Kuberanikan diri untuk membuka mata dan benar saja aku mulai terbang menuju langit meninggalkan jasadku yang sedang dikelilingi banyak orang yang aku tak tau siapa mereka. Kuperhatikan jasadku sepanjang perjalananku menuju langit, hanya cairan berwarna merah yang menghiasi jasadku dan kekecewaan diwajahku. Kini semua beban hidupku sudah terangkat terbang bersamaan dengan nyawaku.
*****

0 comments:

Post a Comment