Sejak
itu, aku dan Ayah sudah tidak pernah bertemu kembali dengan Bunda. Kami kembali
bertemu di Pengadilan Negeri hari ini dalam sidang perceraian Ayah dan Bundaku.
Kami tidak lagi bertemu karena kini Bunda tidak lagi tinggal bersama aku dan
Ayah. Mungkin ia segara menikah dengan lelaki itu. Aku tak tau dan tak ingin
tau lagi hal apapun tentang Bunda. Tentu aku akan tetap sayang dengan Bundaku, namun
dengan cara yang sedikit berbeda.
****
Enam
bulan sudah berlalu setelah perceraian Ayah dan Bunda. Bunda sudah menikah
dengan lelaki itu dua bulan sesudah bercerai dengan Ayah. Sedangkan Ayah juga
sudah menikah dengan seorang wanita, empat bulan setelah perceraiannya. Waktu
yang cepat untuk keduanya, terutama Ayah untuk melupakan Bunda yang padahal
seharusnya susah untuk ia lupakan. Tapi memang, Ayah menikah dengan wanita itu
karena aku. Akulah yang meminta untuk Ayah menikah lagi. Namun justru
permintaankulah yang membawaku ke atas gedung ini. Ingin mengakhiri hidupku.
Karena permintaan bodohku dua bulan yang lalu.
Aku
tau memang aku yang meminta dan memaksa Ayah untuk menikah lagi. Namun tidak
maksudku mengizinkan Ayah menikah dengan sembarang wanita. Termasuk dengan
rekan kerjanya yang berbeda keyakinan dengan kami. Aku tidak ingin Ayah menikah
dengannya.
Kini
Ayah ingin berpindah keyakinan seperti apa yang diyakini oleh wanita yang kini
menjadi istrinya. Sedangkan aku jelas tidak mau. Namun aku tidak diizinkan dan
juga tidak bisa hidup ditengah keluarga yang berbeda keyakinan olehku. Aku juga
tidak bisa membayangkan akan jadi apa keluargaku.
Kukira
kesedihanku akan perselingkuhan Bunda, akan diakhiri oleh datangnya wanita itu.
Tapi justru wanita itulah yang membuatku ingin mengakhiri hidupku. Bagaimana
tidak, jika Ayah tetap ingin memaksaku untuk mengikuti keyakinan mereka, maka
aku akan mengakhiri hidupku. Bahkan akupun sama sekali tidak ingin berlindung
pada Bunda. Sudah cukup Bunda bersalah, dan tak adil rasanya jika aku pergi
dari Ayahku dan berlindung pada Bunda yang telah mengawali kesedihan dalam
hidupku.
Mungkin
kejadian ini memang cobaan dari Tuhan untukku. Maaf Tuhan, aku tak sanggup
untuk menjalani hidupku. Mungkin Tuhan tidak akan memberi ujian pada hambanya
yang tak mampu. Namun aku tidak ingin berusaha untuk mampu melewati cobaan ini.
Aku sudah cukup lelah dengan hidupku.
Kumatangkan
keberanianku. Aku membayangkan satu per satu wajah orang-orang yang membuat
hidupku berbeda. Ayah, Bunda, lelaki itu, dan juga wanita itu. Ku abaikan
teriakan orang-orang dibawah sana. Aku tidak menghiraukannya walaupun aku tau
jelas apa yang mereka teriakan kepadaku. Kupejamkan mataku yang terus menerus
mengeluarkan air mata. Kusempatkan diri untuk menengok kebelakang, ada Ayah
yang baru saja berhasil naik ke ujung atas gedung ini ingin menghampiriku.
Tanpa menunggu Ayah berhasil meraihku, langsung saja kuhempaskan tubuhku
membelah udara menuju daratan keras dibawah sana.
Kurasakan
aku terus menerus membelah udara. Hingga akhirnya tiba pada sesuatu yang
terbuat dari bahan keras yang menahanku dan tak bisa kubelah dengan tubuhku
seperti udara sebelumnya. Cairan hangat menyelimuti tubuhku, yang aku tak tau
jelas apa itu. Sekejap saja kurasakan aku mulai menuju udara kembali.
Kuberanikan diri untuk membuka mata dan benar saja aku mulai terbang menuju
langit meninggalkan jasadku yang sedang dikelilingi banyak orang yang aku tak
tau siapa mereka. Kuperhatikan jasadku sepanjang perjalananku menuju langit,
hanya cairan berwarna merah yang menghiasi jasadku dan kekecewaan diwajahku.
Kini semua beban hidupku sudah terangkat terbang bersamaan dengan nyawaku.
*****
0 komentar:
Post a Comment